31. Konspirasi Semesta?

433 83 3
                                    


Andaru memainkan cangkir kopinya dengan gelisah. Asbak di depannya sudah penuh dengan puntung rokok. Kegelisahan jelas tergambar pada raut mukanya.

"Cangkirnya bisa pecah kalau kamu permainkan seperti itu, Ndaru," kata seseorang sambil menyingkirkan tangan Andaru dari cangkir yang tengah dipegangnya.

"Kamu sudah selesai meeting-nya?"

"Secara formal sudah. Tapi Bos mau menyuguhi tamunya makan dulu. Aku sudah izin untuk tidak ikut karena ada kamu. Lagi pula ada Ibu yang menemaninya."

Andaru tersenyum miring. Arhan adalah salah satu sahabat terbaiknya meskipun setelah lulus dari SMA mereka jarang bertemu. Arhan merantau ke Bali kemudian baru kembali ke Yogya setelah Andaru berada di Inggris. Pertemuan kembali secara tidak sengaja beberapa bulan yang lalu membuat komunikasi mereka terjalin kembali.

Arhan bekerja sebagai manajer sebuah restoran Bali di sini. Kebetulan sekali kantor Andaru dekat dengan restoran ini sehingga ia sering mampir untuk makan dan berbincang dengan sahabatnya itu.

Selain area indoor dua lantai yang bebas dari asap rokok, restoran ini memiliki area outdoor di mana pengunjung bebas untuk merokok. Hari ini Andaru memilih area luar ruangan yang diteduhi oleh deretan pohon nyiur karena ia ingin berlama-lama menikmati nikotin yang biasanya bisa menenangkan pikirannya. Senja sudah di ujung mata sehingga suhu udara tidak menjadi masalah. Justru terasa hangat dan nyaman karena semilir angin di awal musim penghujan yang mulai membayang.

"Jadi apa yang membawamu kemari?" tanya Arhan tanpa basa-basi ketika dilihatnya asbak di meja sudah penuh dengan puntung rokok.

"Biasa, Han, menemui teman lama. Kamu nggak senang, aku datang ke sini?"

"Bukannya nggak senang," jawab Arhan. "Kamu nyebatnya sudah di luar kebiasaan. Biasanya hanya satu atau dua. Ini, seasbak penuh dengan puntung."

Andaru tidak menjawab.

"Ada apa?"

"Ya pengin saja," kata Andaru. "Kalau di rumah nggak bisa ngerokok."

Arhan tergelak. "Suruh siapa tinggal sama ibumu? Kamu tuh sudah dewasa. Masak masih tinggal sama emak."

"Ya anaknya yang laki kan cuma aku. Kalau bukan aku yang menemani Ibu, siapa lagi?"

"Jadi itu yang membuat kamu berpisah dari istrimu?"

Andaru menggeleng. "Bukan. Ibu justru sangat sayang pada Becca."

"Lalu mengapa berpisah?"

"Pondasinya tak cukup kuat, Han. Rapuh. Kamu hidup hanya saling menghormati. Prinsip kami berbeda. Jadi daripada saling menyakiti, lebih baik kami berpisah."

"Bukan karena orang ketiga?"

Andaru mengangkat bahunya. Ia bingung mesti menjawab bagaimana. Karena sejatinya, prinsip hidup yang berbeda itu juga menyangkut orang ketiga. Karena Rebecca lebih menyukai open marriage, sedangkan sebagai orang yang dididik dengan adat Timur, prinsip itu bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Belum lagi penyakit bawaan yang membayangi jika prinsip ini terus dijalani.

Setahun dua tahun ia bertahan, apalagi dengan hadirnya Byantari di antara mereka. Tapi, lama kelamaan Becca semakin menjauh. Kariernya sebagai perancang busana yang berbasis di luar negeri membuatnya lebih banyak meninggalkan rumah. Jadi, Andarulah yang lebih banyak mengerjakan tugas sebagai "ibu" bagi Byantari di rumah.

Setelah studinya selesai, Andaru mendapatkan tawaran pekerjaan di Jakarta. Dari awal, ia memang ingin menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dengan bekerja di luar perusahaan orang tuanya. Jadi, Andaru memutuskan untuk menerima tawaran tersebut dan pulang ke Indonesia. Ibunya juga sudah menawarkan bantuan untuk merawat Byantari yang masih toddler sehingga bebannya terasa sedikit lebih ringan. Selama dua tahun di Jakarta, Rebecca hanya datang sebanyak enam kali untuk mengunjungi anak dan suaminya.

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang