9. Makan Siang Bersama Badai

507 91 3
                                    



Lelaki itu membalas sapaan Sekar dengan senyum tipis. Hanya segaris saja. Tapi itu sangat berarti bagi Sekar karena biasanya Badai hanya tersenyum di ujung bibir saja. Sekar masih ingat kebiasaan si muka papan itu. Badai sama sekali tak pernah menunjukkan emosinya secara berlebih. Ia hanya tertawa secukupnya, tersenyum sekadarnya, dan bersedih sepantasnya saja.

Oleh karena itu, melihat senyum segarisnya hari ini, meskipun hanya sedetik, Sekar merasa sangat bahagia.

"Hai!" sapanya. "Bapak mengatakan aku bisa menemukanmu di sini. Jadi, aku menunggumu," kata Sekar segera, menutup kemungkinan Badai menolak kehadirannya. Dengan membawa nama ayahnya, Sekar yakin Badai tak akan bisa menolak.

Ia segera duduk di bangku panjang yang terletak di teras bangunan. Kelihatannya bangku panjang itu memang sengaja diletakkan di sana untuk tempat para pegawai rehat sejenak. Mau tak mau Badai ikut duduk di sana, khawatir kalau mereka menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang di sekitarnya.

Melihat Badai ikut duduk, Sekar tersenyum.

"Aku menawarkan proposal kerja sama. Untukmu atau untuk perusahaan ini. Aku tak tahu mana yang lebih baik, kamu saja yang menentukan," kata Sekar sambil mengeluarkan proposal yang sudah disiapkan dalam totebag-nya. Ia segera mengulurkan bendelan kepada Badai.

Badai membuka-buka proposal itu, tetapi belum membaca secara mendetail. Baru mengamati kover depannya saja. Sekar menunggu dengan sabar. Diamatinya Badai dalam diam karena kelihatannya lelaki itu belum juga hendak berkata-kata.

Mereka terjebak dalam keheningan, tetapi Sekar memakluminya. Ia tidak akan berekspektasi Badai akan menanyakan kabarnya. Badai tak akan bertanya. Biasanya Sekar yang bercerita. Badai hanya akan menimpalinya sedikit-sedikit saja. Hanya saja kali ini Sekar tak ingin bersuara. Ia menikmati keheningan ini, sambil mengamati Badai yang tampak sedikit tak nyaman di tempat duduknya.

Kruuuuk ....

Tiba-tiba sebuah suara terdengar menyibak keheningan. Itu suara perut Sekar yang mengingatkan bahwa terakhir kali perutnya kemasukan makanan sudah enam jam yang lalu. Itu pun hanya sepotong cheesecake sisa pemberian Laras kemarin. Rencananya menemui Badai hari ini membuat ia melupakan sarapan padahal sudah diwanti-wanti Lira untuk memakan bekal yang sudah disiapkannya.

"Kamu belum makan?" tanya Badai.

Sekar menggeleng. "Lupa."

"Kebiasaan," gerutu Badai lalu berdiri dan segera melangkahkan kakinya.

"Ke mana?" tanya Sekar segera berdiri dan mengikuti Badai.

Sayangnya lelaki itu tak menjawab. Ia hanya terus melangkah setelah memastikan Sekar mengikutinya. Langkahnya panjang-panjang, jadi Sekar harus berlari kecil agar bisa mengikutinya. Itulah sisi tidak menguntungkan dari orang yang terlahir pendek. Langkahnya harus cepat untuk mengimbangi langkah-langkah makluk jangkung macam Badai.

Oh, Sekar benci menjadi pendek. Ia yang terpendek di antara kedua saudarinya. Ia bahkan menjadi kurcaci jika tengah berkumpul dengan keluarga maminya. Tak hanya di keluarga maminya, di keluarga ayahnya juga begitu. Pak Suryo dan Bu Nastiti adalah keturunan Jawa ningrat yang posturnya semampai seperti kebanyakan kaum ningrat lainnya. Itu sebabnya ia selalu merasa berbeda di antara mereka.

Sekar tak tahu ke mana Badai menuju. Tebakannya, Badai membawanya menemui Pak Yusuf untuk menyerahkan proposal yang dibawanya. Lalu mereka akan membahasnya atau menentukan kapan pertemuan berikutnya dan Sekar bisa segera pulang.

Namun, Sekar salah. Badai menuju musala. Oh, mungkin ia belum salat. Eh, bukan. Tepatnya Badai menuju bangunan di sebelah musala yang ditengarai Sekar sebagai kantin. Ya, kantin.

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang