19. Meneroka Jejak Kenangan Masa Lalu

729 82 14
                                    


Matahari masih belum begitu tinggi ketika Badai memarkir pick up-nya di halaman rumah Suryadiningrat. Lelaki tua yang masih tampak gagah itu menyambutnya dengan wajah semringah.

"Wah, Bapak nggak nyangka kamu bisa sepagi ini sampai di sini," katanya.

Badai tertawa kecil. Sedikit malu karena memang ia yang kepagian.

"Setelah dari sini nanti saya harus ke Kulon Progo untuk mengecek produksi beras organik, Pak."

Suryo mengangguk-angguk. "Ya, ya. Bapak mengerti. Kamu kan orang sibuk. Maaf, lho, Bapak merepotkanmu untuk mengirim tanaman-tanaman ini."

"Nggak repot, kok, Pak, memang saya terbiasa mulai kerja pagi-pagi. Kalau siang panas. Lagipula ini kan juga bisnis, Pak," katanya mulai menurunkan pot-pot tanaman. Namun, sebelumnya, dia membuka pintu penumpang dan mengambil goodie bag yang berada di sana dan menyerahkannya kepada Pak Suryo.

"Apa ini?"

"Titipan dari Mak untuk Ibu, Pak."

"Wah, ibumu apa kabarnya? Kok malah repot-repot begini," kata Suryo sambil melongok isi tas tersebut. Kalau kiriman dari Niah bisa dipastikan itu makanan. Suryo selalu merindukan masakan mantan kokinya itu, tapi ia menghargai keputusan Niah untuk tidak lagi bekerja di rumahnya.

"Kabar Mak alhamdulillah baik, Pak. Sudah dari kemarin-kemarin mau nitip sesuatu untuk diserahkan pada Bu Nastiti, tapi baru ini kesampaian."

"Oh, begitu? Wah, ini ada lodeh kesukaan Ibu. Lho, lho, ada pepes juga," kata Suryo tak sabar membuka bingkisan dari Niah. "Wah, ini ada kleponnya juga. Sekar harus ke sini ini. Dia pasti kangen juga sama masakan Niah."

Jadi, begitulah. Tanpa pikir panjang, Suryo segera menelepon anak semata wayangnya tanpa tahu bahwa telepon itu membawa hura-huru yang cukup heboh bagi Sekar dan Ami, cucunya.

"Jadi ini bunganya saya bawa ke mana, Pak?"

"Oh, ya, ya. Bapak jadi lupa. Ini dibawa ke taman samping saja. Sekalian ditata biar bagus, ya Dai. Biar Ami tambah senang kalau lihat ikan. Masak kemarin dulu pas datang ke sini dia bilang kalau tamanku gersang. Beda sama taman yang di rumahnya," katanya terkekeh mengingat cucunya yang menggemaskan.

"Baik, Pak," kata Badai mulai menurunkan tanaman.

Ia sudah tahu semua tempat yang ada di rumah ini. Meskipun ia tidak lahir di sini seperti Aning, tapi ia tinggal di sini lebih dari sepuluh tahun. Tepatnya tiga belas tahun. Sejak usianya tujuh tahun.

Pertama kali datang, ia melihat seorang anak kecil menghampirinya. Anak itu bermata berambut hitam panjang dan bermata bulat. Kulitnya bersih, hidungnya lancip, dan bibirnya kecil menggemaskan.

"Siapa namamu?" tanya gadis kecil itu dengan suara yang jernih.

"Yusuf Maulana Baadillah," jawabnya sambil tersenyum ketika itu.

"Ningsih, namanya Badai," teriak gadis kecil itu kepada temannya yang sedikit lebih tinggi darinya.

Sejak itu, nama Yusuf tidak berlaku lagi di rumah ini. Namanya Badai. Itu, pemberian dari Rr. Ayu Sekar Anindita, tuan putri di rumah ini yang di kemudian hari diketahui olehnya bahwa kasih sayang yang diperolehnya tak seimbang dengan posisinya sebagai tuan putri. Oleh karena itu, dengan segala cara, Badai mencoba melindunginya dan membuatnya merasa nyaman. Tentu saja, bersama Niah—ibunya—yang selalu mencoba memberikan yang terbaik bagi Anin kecil.

Sayangnya, Badai lupa untuk membentengi hatinya. Tanpa disadarinya, ia jatuh cinta kepada gadis kecil yang seiring berjalannya waktu tumbuh menjadi remaja yang elok itu. Perasaan itu datang diam-diam, seperti racun yang akhirnya menyebar ke seluruh tubuhnya kemudian menjelma menjadi rasa sakit karena ia tahu ada sekat yang tak akan tertembus di antara mereka. Karena mereka adalah pelayan dan bendara (majikan). Sekat antara rakyat jelata dan bangsawan yang jelas tak akan bisa ditembusnya meskipun nantinya ia menjadi seorang kaya raya, bukan anak pelayan biasa lagi.

Ketika ia mulai remaja, ada orang lain yang tahu tentang perasaannya itu. Siapa lagi kalau bukan Niah, satu-satunya orang tua yang dimilikinya.

"Mamak tahu apa yang kamu rasakan, Nang," kata Niah. "Tapi kamu tahu juga posisi kita, kan?"

Badai mengangguk. Tak mengira bahwa mamaknya tahu apa yang ia rasakan. Badai perlahan menjauh. Menjadi pengamat seakan melihat ikan di akuarium. Melihat sang gadis kecil bertumbuh menjadi remaja yang cantik dan tak lagi suka menyusuri sungai untuk mencari ikan kecil atau bermain layangan di tanah lapang.

Ketika pergaulan Anindita sudah melangkah melampaui gerbang istananya, lingkaran pertemanannya pun berubah. Tak ada lagi Badai di dunianya meskipun sesekali ia masih ke rumah belakang untuk mencari Mamak. Memintanya membuat kue untuk disuguhkan kepada teman-temannya.

Lalu ada nama yang selalu disebut-sebutnya. Andaru. Badai bergeming, tapi hatinya sakit. Meskipun lingkaran pertemanannya sendiri juga bertambah, ia tak lagi bisa bertahan ketika gadis itu melangsungkan pertunangannya. Malam setelah pertunangan gadis itu, ia menepi di belakang rumah petaknya. Menatap langit dalam diam, tapi hatinya berteriak. Dunia tak pernah adil bagi orang-orang miskin sepertinya. Bagi orang-orang kelas rendah sepertinya. Karena pada dasarnya, angsa tak pernah bercampur dengan itik buruk rupa.

"Mamak memutuskan untuk tidak lagi bekerja lagi di sini, Badai," kata mamaknya keesokan harinya.

"Mengapa, Mak?"

"Karena Mamak tak ingin melihat anak Mamak bersedih," kata Niah meneteskan air mata. "Mamak bertahan di sini demi kamu, tetapi untuk apa hidup enak bayaran banyak kalau anak Mamak tidak bahagia? Mari kita keluar dari sini."

Kebetulan pada hari yang sama, Badai mendapatkan tawaran untuk bekerja di Jepang. Ketika itu dia tengah libur semesteran. Dosennya mengatakan, bahwa ada temannya yang membutuhkan asisten selama menyelesaikan kuliahnya di Jepang. Badai memutuskan untuk mengambil cuti kuliah dan segera ke Jepang. Selepas jadi asisten, ia tidak kembali ke Indonesia, tetapi bekerja di sebuah perkebunan modern dan memutuskan untuk menyerap ilmunya dengan praktik secara langsung.

Ia tak pernah kembali ke rumah ini sampai kemarin ketika mengantarkan telepon genggam Sekar yang ketinggalan di kantornya. Takdir telah membawanya kembali ke rumah ini. Menapaki kenangan masa lalu yang masih berkelindan di benak Badai. Tak pernah lekang meskipun waktu terus berjalan.

Ia tak bisa menolak ketika Suryo memintanya untuk mengisi taman dengan tanaman dari rumah kacanya. Jadi, hari ini, mau tak mau, kembali ia menapaki jejak kenangan yang ternyata masih sama rasanya dengan yang dulu karena tak ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali satu: gadis yang telah meninggalkan sarang masa kecilnya yang mungkin tak seindah yang dipikirkan banyak orang. 

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang