34.

422 83 10
                                    


"Kamu bisa melepaskan pegangan tanganmu, Ning," kata Badai ketika dirasakannya tangan Aning masih menempel di sikunya. Mereka sudah sampai di pintu keluar, tapi tangan gadis itu masih lekat di sikunya.

Selama ia bergaul dengan Aning, baru kali ini gadis itu nekad untuk memegang bagian tubuhnya. Selama ini mereka selalu berjarak karena memang tak ada hubungan apa pun di antara mereka. Kalau tak ingat mereka sedang berada di depan klien potensial, ingin rasanya dia mengibaskan tangan itu. Jujur, ia risih dipegang seperti itu. Beberapa kali ia memberikan kode dengan gerakan tak nyaman, tapi Aning masih saja menempel seperti lintah.

"Maaf, maaf," kata Aning tanpa menunjukkan rasa penyesalan sama sekali. "Rupanya memang benar apa yang dibilang orang-orang, kamu itu anti terhadap perempuan."

Badai menggumam tak jelas. Percuma saja berpanjang kata dengan gadis menyebalkan itu. Kalau tak ingat bahwa Aning sebatang kara di dunia ini, sudah dari dulu ditinggalkannya gadis itu. Biar saja ia kembali ke jalanan dan bergaul dengan teman-teman lamanya. Namun, bukan Badai kalau ia melakukan hal itu, kan?

Mengabaikan Aning, Badai segera membuka pintu pick up-nya karena langkah mereka sudah sampai di parkiran. Tanpa menunggu gadis itu naik, Badai segera menghidupkan mesin mobilnya.

"Tunggu," seru Aning sambil segera membuka pintu. "Kamu akan meninggalkan aku di sini?"

"Kamu bisa pulang sendiri," kata Badai.

Namun, karena Aning alias Ningsih sudah telanjur naik, ia tak bisa memaksa gadis itu untuk benar-benar turun dan pulang sendiri. Lagi pula, ia bukan lelaki yang tega membiarkan seorang gadis pulang sendirian jika ia memang bisa mengantarkannya. Apalagi, meskipun bukan kemauannya untuk membawa gadis itu ke sini, setidaknya Aninglah yang mengenalkannya dengan Bu Wayan, istri Haji Imron yang hari ini resmi menjadi pelanggannya.

Sayangnya, Aning terkadang tak tahu diri. Setelah mengaku-aku sebagai tunangannya di kantor, hari ini ia mempertontonkan kepada orang lain seolah-olah ia memang tunangannya. Bagi Badai, tak masalah jika hal itu dilakukan di depan orang lain yang tak pernah mengenal mereka sebelumnya karena terkadang ia membutuhkan status itu untuk menjauh dari gadis-gadis yang menyukainya atau para orang tua yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Namun, jika Aning mempertontonkan hubungan palsu itu kepada Sekar, ia tidak suka. Ia tidak ingin gadis itu salah mengartikan sikap Aning terhadapnya.

Sayangnya Aning memiliki tujuan yang berbeda dan Badai lupa betapa liciknya gadis itu semasa kecilnya dulu.

"Oh, puas sekali melihat wajah anak manja itu. Sekali-sekali ia harus merasakan bagaimana dikacangin."

"Dikacangi?" tanya Badai.

"Dikacangi itu dicueki. Bahasa gaul itu. Kamu kelamaan di Jepang jadi nggak tahu perkembangan bahasa gaul di sini. Atau kamu sudah ketuaan untuk paham bahasa gaul," kata Aning tertawa terbahak-bahak. Tawanya sungguh tak enak untuk didengar.

"Usia kita hanya berjarak dua tahun," kata Badai. "Aku laki-laki, semakin tua semakin menarik. Tapi pada usiamu yang sekarang, harusnya kamu sudah menikah dan punya anak. Kamu tidak menunggu pacar brengsekmu itu keluar dari penjara dan memukulimu sampai babak belur lagi, bukan?"

"Ngaco," kata Aning. "Aku akan menunggumu untuk menikahiku, Tunanganku," kata Aning tertawa keras. Senang rasanya melihat Badai yang pelit kata itu menjadi cerewet.

"Panas kepalamu? Atau ketempelan jin penunggu pohon kelapa itu?" tanya Badai.

"Semua orang mengira bahwa aku tunanganmu. Tinggal bilang kalau aku hamil anakmu, mereka pasti akau bisa memaksa kamu untuk menikahiku."

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang