33. Retak

331 77 6
                                    

Sekar tidak tahu kebaikan apa yang telah dilakukannya pada masa lalu sehingga ia bisa meloloskan diri dari suasana tidak nyaman yang telah memerangkapnya selama beberapa menit. Yang pasti kehadiran Andaru dan Arhan yang menariknya menjauh dari percakapan antara Haji Imran dan Lira membuatnya bisa menjauhkan diri dari Badai dan Ningsih.

Setidaknya ia bisa menjauh dari mereka. Entah mengapa, ia tak rela melihat kedekatan Badai dengan Aning. Sejak kecil ia bisa berbagi apa saja dengan Ningsih dan ia tak pernah keberatan. Mereka bertiga biasa bermain bersama—dulu—dan Sekar tak pernah merasa cemburu jika Badai memperlakukan Ningsih sama seperti ia memperlakukan Sekar.

Namun, mengapa hari ini semua terasa berbeda? Apa karena sikap Ningsih yang tak bersahabat ketika mereka bertemu di kantor Badai? Atau karena posisi gadis itu yang terus menempel pada Badai sehingga Badai tampak tidak nyaman? Atau mungkin karena panggilan "Alan" yang tak sengaja didengarnya tadi? Atau justru karena Badai telah mencium dan memeluknya, tapi hari ini ia begitu dekat dengan Ningsih? Yah, meskipun hanya cium pipi, sih. Mungkin bagi Badai bukan apa-apa. Bagi Sekar juga seharusnya demikian, karena ia pun biasa cipika cipiki dengan kawan dekatnya. Tapi, bagi Sekar, Badai berbeda. Ada semacam euforia yang melandanya ketika Badai mencium pipinya. Sebuah perasaan gembira yang mengingatkannya kembali pada masa muda. Pada masa semua kegembiraan belum ditelan habis oleh kedukaan dan rasa sakit. Dan saat ini ia tak rela berbagi kegembiraan itu dengan orang lain, khusunya Ningsih, yang sejak awal pertemuan mereka sudah menabuh genderang perang.

Tapi, syukurlah, setidaknya ia bisa meninggalkan mereka. Ia segera bergabung dengan Andaru dan Arhan setelah meminta izin pada Lira yang masih asyik berbincang dengan pasangan pemilik restoran ini.

"Nggak nyangka banget kalau hari ini kita bisa bertemu lagi, Nin," kata Arhan. "Baru saja diomongin."

"Hus," tegur Andaru. "Nanti Dek Sekar bisa berpikiran yang bukan-bukan."

"Biasa saja, Mas," kata Sekar. "Cowok kalau ngumpul katanya ghibahnya lebih serem ketimbang kami para perempuan."

"Bukan begitu, Nin ...."

"Sekar, Mas, panggil saja Sekar."

"Oh, iya, Sekar. Sungguh sebuah nama indah yang hampir terlupakan," ujar Arhan. "Tapi ngomong-ngomong panggilan Anin itu lebih bagus, lho. Lebih manja ... lebih menggoda ...."

"Han ...."

"Mas Arhan memang dari dulu mulutnya lemes deh. Aku yang cewek aja kalah," kata Sekar yang disambut dengan gelak tawa dua lelaki itu.

Arhan yang ditegur oleh kedua temannya hanya cengengesan saja. Tanpa memedulikan teguran itu, ia memanggil pramusaji dan memesan hidangan penutup untuk kedua tamunya. Tak berselang lama, puding mangga yang tampak begitu menggoda sudah hadir di tengah mereka.

"Memang bener apa yang dikatakan Dek Sekar. Kenapa aku nggak dari dulu notice ini, ya."

"Notice apa?"

"Kalau mulutmu lemes," jawab Andaru tertawa lebar. Rasanya kemunculan Sekar sore ini membuatnya ingin tertawa bahagia terus.

"Ya itu karena memang kamu nggak pernah memperhatikan orang lain selain Sekar."

"Ngomong yang salah, Han," kata Andaru. Wajahnya sedikit memerah. Sejak kapan ia menjadi malu-malu kalau digoda perkara wanita?

"Tuh, kan, bener," seru Arhan sedikit berteriak. "Lihat tuh, wajahnya merah. Malu apa memang demen, Ru? Masak sudah setua ini masih malu-malu saja?"

Sekar hanya tertawa kecil melihat kehebohan mereka. Ia telah mengenal keduanya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Andaru dan Arhan adalah dua sosok yang memiliki karakter yang sangat bertolak belakang, tetapi hal itu justru menyebabkan keduanya sangat cocok. Ibarat puzzle, mereka saling melengkapi satu sama lain.

"Pudingnya enak, Mas. Lembut banget," katanya mengalihkan pembicaraan.

"Marco memang koki terbaik kami," jawab Arhan. "Dan puding mangga ini adalah salah satu hasil karya yang selalu dibanggakannya. Sebenarnya sih dia punya nama sendiri untuk mahakaryanya ini, cuma aku lebih suka menyebutnya puding mangga saja untuk menggodanya."

"Padahal kalau pakai nama asing harganya jadi mahal, ya,, Mas," kata Sekar.

"Menu yang lain dia juga yang masak?" tanya Andaru.

"Menu utama, iya. Kalau dessert, hanya puding mangga saja. Itu pun maunya mangga masak pohon, nggak mau yang peraman. Standarnya tinggi banget."

"Kalau menu utama juga minta yang fresh juga?"

"Bukan hanya yang fresh. Mintanya yang organik. Nggak mau dia kalau sayurannya pakai pestisida bahan kimia."

"Ckckckck, pantas saja harganya mahal. Kamu sudah punya pemasok sayur organik? Kalau belum, suplierku mungkin bisa mengembangkan jaringannya ke sini."

"Siapa? Dari Agronesia itu?"

Andaru mengangguk.

"Ditolak oleh Marco gara-gara ia menemukan wortel loyo. Kurang segar katanya."

"Jadi selanjutnya bagaimana, Mas? Cari sayuran organik kan nggak mudah?" tanya Sekar. Ia menduga hal ini ada kaitannya dengan kedatangan Badai ke sini.

"Sudah terpecahkan. Kami baru saja teken kontrak dengan Puspa Agritama. Yang tadi membuat Sekar jadi bengong sendiri tuh," kata Arhan sambil nyengir kuda.

Sekar hanya tersenyum masam.

"Kadang orang lupa dengan etika," ujar Andaru.

"Sebenarnya aku nggak pa pa, kok," kata Sekar. "Wajar saja, mereka kan baru bertemu setelah sekian lama. Ngomong-ngomong, mereka berdua rekan kerja?" tanya Sekar pura-pura tak mengenal Badai dan Ningsih.

"Rekan kerja," jawab Arhan.

"Tapi posisinya terlalu intim," sangkal Andaru. "Kupikir mereka punya hubungan istimewa. Antara bos dan bawahan, mungkin."

"Kata Bu Bos, yang perempuan itu bilang kalau itu perusahaan tunangannya. Tapi aku nggak lihat ada cincin di jari mereka."

"Ada cincin di jari si perempuan," kata Andaru.

"Mungkin si lelaki bukan penganut aliran pakai cincin setelah pertunangan. Lagian belum resmi menikah, ngapain pakai cincin-cincin segala."

"Kerja sama tunangan begitu memang boleh? Kalau di tempatku salah satunya harus pindah."

"Kalau yang punya hubungan itu pemilik usahanya, ya mengapa tidak? Suka-suka dia mau bagaimana," jawab Arhan. "Tapi kelihatannya si cowoknya kurang nyaman, sih. Mungkin karena ceweknya terlalu dominan."

"Bisa nggak, sih, kita nggak ghibahin orang lain," sela Sekar. "Suka-suka mereka mau gimana, kan, nggak ada pentingnya juga kita ngurusin mereka."

Memang nggak ada pentingnya. Namun, mengapa ada yang retak dalam dada Sekar ketika mendengar bahwa Badai sudah bertunangan dengan Ningsih? Lalu, apa arti ciuman Badai di mobil beberapa waktu yang lalu? Hanya untuk menghiburnya saja? Pelukan di rumah sakit itu? Kontrak kerja yang berat sebelah sehingga menguntungkan Sekar semata? Lalu, apa arti kebaikan Badai belakangan ini kepadanya? Hanya sebagai bagian dari romantisme masa kecil saja di mana kenangan akan kebersamaan mereka selalu hanya tentang perlindungan Badai terhadap Sekar saja, bukan?

Sayangnya Sekar mengartikan lain sehingga ia kecewa karenanya. Sekar rasa mulai hari ini ia harus melindungi hatinya terhadap Badai karena nyatanya ia tak pernah kebal terhadap lelaki itu. Bisakah ia menyelesaikan kontrak kerja samanya dengan lelaki itu tanpa membuat hatinya terkoyak lagi?

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang