20. Tentang Gadis Kecil yang Menutup Lubang Semut dengan Tangannya

489 82 4
                                    


Pada akhirnya Badai menyadari bahwa tak layak mengingat apa yang bukan menjadi haknya. Mengingat saja tak layak karena ia bukan siapa-siapa. Jarak yang terbentang di antara mereka terlalu luas. Mereka tersekat oleh budaya di mana kasta masih dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat. Dan tentu saja, sekat nyata yang bernama cinta dalam diam.

Badai mencoba mengabaikan perasaan yang mendadak melankolis karena perpaduan antara kenangan dan kehadiran kembali yang tiba-tiba seorang perempuan bernama Sekar. Gadis yang dulu senang mencari ikan di sungai sehingga sang ayah membuatkan kolam ikan koi di taman dalam rumah. Sayangnya kolam ini sekarang nyaris terlihat sebagai pelengkap saja, bukan lagi pusat kehidupan di rumah ini. Bagi Badai yang pernah tinggal lama di sini, rumah ini seolah kehilangan denyut kehidupannya. Rumah ini, begitu sepi. Dan tamannya, begitu merana karena kurang sentuhan kasih sayang.

Hari ini pagi-pagi sekali Badai pergi ke rumah kacanya untuk mengambil tanaman yang cocok untuk taman berkanopi kaca itu. Ia sudah memperkirakan berapa banyak pot yang diperlukan untuk membuat taman itu kembali cantik. Tentu saja, dengan memperhatikan karakteristik taman yang tidak mendapatkan matahari dan angin secara bebas.

Dengan cekatan, ia mengatur tanaman itu dalam pot yang sudah disiapkannya. Tak dirasakannya peluh yang mengalir dan perut yang lapar karena ia belum sempat sarapan meskipun tadi ibunya memaksanya. Ia tidak akan berada lama di sini. Setelah mengatur semua tanaman ini, ia akan langsung pulang untuk makan dan bersiap ke Kulon Progo.

Hari ini dia memutuskan untuk tidak datang ke perusahaan karena malas bertemu dengan Aning. Hidupnya sudah terlalu ruwet untuk dipusingkan dengan kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan dari gadis itu.

Tingkahnya belakangan ini membuatnya sedikit kesal. Bagaimana tidak, di depan semua orang, Aning dengan arogan membanggakan diri sebagai tunangannya lalu dengan status itu dia berlagak sebagai bos kecil yang harus dituruti semua kemauannya. Awalnya Badai tak peduli karena ia juga membutuhkan orang untuk melindunginya dari gadis-gadis yang hendak mendekatinya.

Namun, sejak Aning mengatakan hal buruk tentang Sekar, hatinya terusik. Badai baru tersadar bahwa Aning sudah terlalu jauh dalam bermain peran dan ia tidak menyukai hal itu. Namun, untuk menghentikannya, Badai belum menemukan cara yang tepat. Jadi, menghindar adalah cara yang dipilihnya saat ini.

Andai mereka tidak terikat dalam masa lalu, sebagai orang yang mengalami nasib yang sama di rumah ini, tentu saja Badai tak akan selemah itu. Apalagi Aning pernah mengalami kejadian buruk di masa lalunya yang membuat Badai bertekad untuk melindungi gadis itu dari apa pun yang bisa mencelakakannya atau membuatnya terperosok ke lubang yang sama. Ditambah lagi kalimat yang pernah diucapkan Sekar kepada mereka dulu.

"Kita itu sahabat, kan? Jadi, harusnya saling melindungi. Badai melindungi aku, aku juga harusnya melindungi Ningsih," kata Anin kecil ketika ia baru saja digigiti semut merah karena Ningsih mengajaknya bermain di bawah pohon yang ada sarang semutnya.

Melihat semut merah mendatangi mereka Anin kecil bergegas menutup sarang itu dan hal itu membuatnya digigit semut sampai parah. Badai yang melihat hal itu segera menggendong Anin dan membawanya ke rumah induk. Dan, bukannya diobati oleh Nastiti, Anin justru dimarahi karena terlalu bodoh mengganggu sarang semut itu. Namun, Anin dengan bangganya mengatakan bahwa sebagai sahabat, mereka harus saling melindungi.

Kalimat itu terus terngiang di telinga Badai. Jadi, ketika pulang ke Indonesia dan menemukan Ningsih ngamen di Malioboro bersama kekasihnya—yang kemudian diketahuinya suka main tangan—Badai dengan sigap menyelamatkan gadis itu. Dan sekarang, ia merasa seperti Anin kecil yang menyelamatkan Ningsih dari semut merah. Bodoh sekali.

"Wah, tamannya jadi bagus," seru sebuah suara yang begitu bening.

Badai menoleh. Ia melihat seorang anak kecil menghampirinya. Anak itu bermata berambut hitam panjang dan bermata bulat. Kulitnya bersih, hidungnya lancip dan bibirnya kecil menggemaskan. Mirip sekali dengan Anin di masa kecil. Bedanya, anak ini lebih chubby. Lebih gemoy kalau kata orang sekarang. Satu lagi, dia tidak menanyakan siapa namanya.

Badai menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis déjà vu yang kini menghinggapinya.

"Om baik-baik saja? Pusing, ya? Belum sarapan? Nih, Ami bawa sandwich. Tadi dibawain Bunda gara-gara nggak sempat sarapan di rumah," kata gadis kecil itu sambil mengambilkan setangkup roti dari kotak bekal yang dibawanya.

Tanpa disadari Badai, ia membuka tangannya untuk menerima roti itu, tapi kemudian diurungkannya.

"Tangan Om kotor," katanya.

"Nggak kotor, Om, kan pakai sarung tangan. Buka saja sarung tangannya," katanya setengah memerintah. Herannya, Badai tidak bisa menolak.

Gadis kecil yang menyebut dirinya Ami itu duduk di tepi kolam, mengamati ikan koi yang berenang kian kemari.

"Aku dulu sudah bilang pada Yang Kung kalau taman ini jelek. Kasihan ikan-ikannya. Eh, sekarang jadi bagus gini kayak taman di rumah mamaku. Tanamannya banyak."

Badai menatap gadis kecil itu tak mengerti. Bagaimana bisa dalam satu waktu dia mengatakan bunda dan mama? Apakah ibunya ada dua? Ayahnya melakukan poligami? Jadi, siapa sebenarnya gadis kecil yang mengingatkannya pada sosok Anin kecil ini? Apakah dia anak Anin dan Andaru? Tapi mengapa tadi malam mereka tak tampak sebagai pasangan suami istri?

"Ami di mana kamu?" terdengar sebuah suara dari dalam. "Sini, salim dulu sama Eyang."

"Itu Bunda," kata Ami. "Aku ke sana dulu, Om. Jangan lupa dihabisin rotinya. Meskipun nggak bikin kenyang, tapi enak kok," katanya nyengir memperlihatkan gigi serinya yang baru tumbuh setengah.

Badai tersenyum tipis. Gadis kecil ini mirip sekali dengan Anin. Ia melihat kembali setangkup roti di telapak tangannya. Tanpa membuang waktu, ia segera menyantap roti yang tampak menggiurkan itu.

Sayangnya, gadis kecil itu lupa memberinya air minum, Jadi, ketika ia terburu-buru menyantap roti dan mendadak tersedak, tak ada air yang bisa diminumnya untuk meredakan penderitaannya itu. Oh, tunggu dulu. Bukan itu yang membuatnya tersedak. Tapi suara orang baru yang datang menghampirinya.

"Ami, kamu di sini?" tanya suara itu. Itu suara Sekar yang sukses membuatnya tersedak.

"Oh, ya Tuhan." Hanya itu kalimat yang didengar oleh Badai di antara batuknya yang tak kunjung reda. 

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang