25. Maaf

459 95 3
                                    


"Mbak Sekar mau ke mana?" tanya Didi yang pertama kali menyadari perubahan sikap kakak perempuannya. Kakaknya itu tampak begitu gugup dan tergesa-gesa membereskan tasnya.

"Ibu masuk rumah sakit," jawab Sekar sedikit bergetar. "Mbak harus segera pulang."

"Bu Nastiti sakit?" tanya Mami khawatir.

Sekar mengangguk. Selama ini topik tentang keluarga ayahnya seakan menjadi topik terlarang di sini. Ia tak ingin Arini ataupun Agung merasa canggung karena bagaimanapun, itu adalah bagian dari masa lalu yang sangat hitam.

Agung pernah memukul Suryo ketika lelaki itu mengambil paksa bayi yang baru saja dilahirkan Arini. Bayi yang bahkan belum mendapatkan colostrum ibunya. Bayi yang belakangan diberi nama Rr. Sekar Ayu Anindita tanpa Arini berperan menyumbangkan nama. Arini, jelas menyimpan sakit hati karena sudah dipisahkan dengan anaknya sedari lahir. Namun, ia juga menyimpan malunya sendiri karena telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Suryo dan Nastiti. Oleh karena itu, seakan menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa topik tentang Suryo dan Nastiti tak pernah dibicarakan oleh mereka. Mereka masih punya segudang topik untuk dibicarakan selain tentang keluarga Suryodiningrat.

Namun bagaimanapun, keluarga mereka akan selalu beririsan, dengan Sekar dan Ami di dalam irisannya. Oleh karena itu, akan ada satu masa saat kedua keluarga itu akan bertemu, entah dalam keadaan suka ataupun duka. Awalnya Arini mengira, mereka akan dipertemukan dalam acara pernikahan Sekar, tetapi rupanya masa itu tiba lebih cepat. Hari ini, topik terlarang itu terpaksa disuarakan. Nastiti sakit.

"Ibu sakit kanker sudah dua tahun ini, Mi," kata Sekar. "Malam ini Ibu dibawa ke rumah sakit karena dadanya sesak. Maaf, Mi, Sekar terpaksa pulang dulu," lanjutnya.

"Jangan pulang sendirian, Nak. Biar diantar Ayah," kata Arini.

Sekar menggeleng. "Nggak usah, Mi. Ayah capek. Rumah sakitnya juga jauh dari sini."

"Kalau begitu biar aku antar saja, Mbak," kata Didi.

"Arsya sudah ngantuk, aku nggak punya ASI," kata Prahara.

"Kalau begitu Mas Prahara saja yang antar," jawab Didi.

"Jangan. Aku berani kok nyetir sendiri," tolak Sekar. Apa kata orang jika ia berdua saja bersama mantan suaminya? Di dalam mobil, malam-malam pula.

"Berani sih berani, tapi lihat, Mbak Sekar saja gemetar begitu. Biar diantar Prahara saja," kata Laras.

"Kalau sama saya saja gimana? Kebetulan tadi saya nggak bawa kendaraan, jadi sekalian nebeng," kata sebuah suara menyelamatkan Sekar dari rasa canggungnya. Lagi-lagi Badai menyelamatkannya malam ini.

"Oke," kata Sekar secepat kilat sebelum tawaran Badai ditolak Arini. "Sudah terpecahkan masalahnya sekarang, Mi. Mami nggak perlu mengkhawatirkan keselamatanku lagi," kata Sekar sambil berpamitan kepada semua yang hadir di situ.

Sebenarnya ia bisa berkendara sendiri, tapi ia menghargai perhatian Arini yang tulus. Katakan saja ia haus perhatian. Karena selama ini ia tak pernah sedemikian dikhawatirkan orang lain, maka perhatian kecil dari Arini sudah membuatnya sangat bahagia. Ia bahkan tak peduli jika perhatian itu akan membawanya semobil dengan Badai.

Sekar segera mengangsurkan kunci mobilnya kepada Badai dan membuka pintu penumpang ketika Badai sudah mulai menghidupkan mesin mobil. Keluarganya mengantarkan sampai ke teras dan menunggu hingga mobil Sekar keluar dari halaman rumah mereka.

Namun, meskipun meskipun mobil sudah dihidupkan, rem tangan tak kunjung diturunkan dan pedal gas belum juga diinjak. Sekar memandang Badai tak mengerti. Keluarganya menunggu di teras untuk mengantarkan kepergian mereka dan Badai justru tak kunjung bergerak.

Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang