“Adiba, bolehkah?”
Khafi menatap lekat Adiba, tak berniat menjauhkan Adiba dari jangkauannya. Sementara yang dipandang, nampak terkejut dan menatap Khafi horor.
“Bohong, 'kan?” tanya Adiba pada Khafi. Matanya sudah berlinang air mata. Di satu sisi, Adiba tahu menolak permintaan suami adalah sebuah dosa besar. Bagaimanapun, itu hak Khafi sebagai suaminya, sebagai istri Adiba wajib melayaninya. Namun, disisi lain Adiba masih belum siap. Dia masih kebingungan dan juga ragu akan perasaannya. Ia masih ingin mengenal Khafi lebih jauh.
“Kenapa saya harus berbohong? Kamu kan istri saya.”
“Tapi, Pak—”
“Tapi?”
“Saya masih belum siap,” jawab Adiba pada akhirnya. Jawaban Adiba sontak membuat Khafi terbahak-bahak. Ia melepaskan tangannya yang menahan Adiba. Menjauhkan Adiba dari tubuhnya.
“Saya becanda,” ungkapnya, membuat Adiba memukul pelan dadanya.
“Sudah malam, tidur saja,” ujar Khafi.
Adiba merebahkan kepalanya di samping Khafi. Tak lupa sedikit menjauh dari Khafi. Khafi hanya bisa tersenyum dalam diam. Wajar saja Adiba bersikap demikian. Pernikahan ini berjalan lancar, namun tak memungkiri awal pernikahan ini adalah perjodohan. Mereka menikah tanpa cinta. Yang berarti, mereka tetap saja dua orang asing yang tinggal bersama.
“Bapak juga.”
Mendengar ucapan Adiba, membuat Khafi yang semula ingin memejamkan mata kembali terbuka. Kini, ia harus mengubah panggilan itu meski Adiba terpaksa. Mereka akan menjadi sorotan di kantor. Juga, kakeknya pasti akan membahas dan berakhir Khafi diomeli sampai tujuh tanjakan tujuh turunan.
“Saya bukan Bapak kamu.”
Adiba terkejut, “tapi Bos kan?”
“Itu di kantor. Sekarang kita dimana?”
“Hotel,” jawab Adiba, enteng tanpa beban.
Khafi menjitak kepala Adiba dari samping hingga kini keduanya bertatapan. “Kamu nggak mungkin akan manggil saya seperti itu terus, bukan?”
“Eh?”
“Coba panggil dengan benar,” perintah Khafi.
“M-mas?”
“Lagi.”
“Mas.”
“Ulangi.”
“Mas.”
“Lagi.”
“Mas Khafi! Udah kan?!” gertak Adiba, kesal.
Khafi tersenyum. Dia mengusap kepala Adiba. “Mulailah untuk terbiasa.”
“Tapi, Diba malu!”
“Nanti juga akan terbiasa.”
“Tau ah!” Adiba ngambek, kemudian dia membelakangi Khafi.
Khafi jadi merasa menggoda Adiba adalah sebuah keseruan. Dia pun mematikan lampu, tersisa lampu tidur yang menerangi kamar pengantin tersebut.
“Selamat tidur, Adiba.”
***
Pagi harinya, mereka langsung check out dari hotel dan menuju rumah Adiba. Khafi sendiri memberi pilihan agar mereka menginap lebih lama. Tapi, Adiba merasa bosan karena tidak ada yang bisa ia lakukan selain makan, tidur dan bermain ponsel. Adiba pun memilih pulang, di rumah ia bisa melakukan apa saja sampai dua hari ke depan sebelum cuti menikah selesai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Surga Impian
SpiritualeSudah terbiasa bersama, membuat Adiba menyimpan rasa pada sahabatnya, Naufal. Dari kecil, sampai masa-masa tersulitnya, Naufal selalu ada menemani Adiba. Naufal seperti pelindung, untuknya yang tidak punya siapa-siapa. Sampai suatu hari, Naufal ber...