jarak

40 5 2
                                    


Jihan tidak pernah tahu bahwa pertandingan basket bakal seru. Walaupun kebanyakan perhatiannya terbagi antara real game dan penjelasan Hanni soal cara mainnya, tapi Jihan cukup menikmati. Suara riuh supporter, musik pengiring yang khas, dan gerakan lincah cepat di bawah sana adalah sesuatu yang baru untuk Jihan.

Dhary juga terlihat sangat serius menonton. Jihan tak berani mengusik, bahkan ketika Dhary berada di sebelahnya. Dia tidak tahu Dhary yang biasanya santai dan kalem bisa berubah seperti itu. Ia terlibat dalam diskusi dengan Haza (yang juga sama seriusnya). Sepertinya mereka membicarakan soal strategi bermain dan juga mengingat beberapa nomor punggung yang terlihat mencolok di pertandingan tadi. Tidak mau menginterupsi, Jihan lebih banyak mengobrol dengan Hanni tadi.

Sekarang permainan akan dimulai lima menit lagi setelah break time. Mila dan Hanni sudah keluar sejak tadi karena akan membeli jajan. Jihan tidak merasa lapar, ia memilih untuk tetap disana, sampai kemudian ia merasakan handphone-nya bergetar.

Satu bubble chat muncul ketika status telepon tadi masih dialling. Demi melihat itu, Jihan terkesiap berdiri. Gerakan tiba-tiba itu membuat refleks Dhary bekerja. Ia langsung memegang pergelangan tangannya dan bertanya.

"Ada apa?"

"Gue harus pergi"

"Kenapa?"

Dhary tidak bisa membaca dengan jelas mimik wajah Jihan karena perempuan itu sibuk dengan handphone-nya. Mengetikkan entah apa disana dengan jari-jari tergesa.

"Jihan, kenapa?" tanya Dhary dengan lebih pelan tetapi terdengar demanding.

Saat Jihan mengangkat kepalanya, Dhary bisa melihat mata Jihan yang berkaca-kaca. Ada ketakutan di dalam sana. Sepertinya sesuatu baru saja terjadi dan saking takutnya Jihan, gadis itu sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.

Tanpa pikir panjang, Dhary meraih tasnya. Menepuk Haza yang seolah sudah siap mendengarkan. Ribut-ribut itu tadi tentu saja menarik perhatiannya. Mata Jihan juga tidak bisa berbohong, Haza berani bertaruh dalam beberapa menit, Jihan akan menangis.

"Gue kasih ke lo, Za, sisanya. Atau lo bisa datengin Noa, dia ada di tribun seberang."

"Sip. Hati-hati di jalan, Ry."

"Yoi. Bilangin ke yang lain juga kalo pada nyariin."


***


Jihan meminta diantarkan ke sebuah coffee shop. Tanpa penjelasan.

Tak ada penjelasan sama sekali selama perjalanan tadi. Setelahnya pun Jihan tidak berbicara, hanya mengatakan terima kasih dan menyuruhnya untuk pulang. Dhary tentu saja masih khawatir, tetapi ia menghargai keputusan Jihan. Jadi, setelah memastikan Jihan masuk ke dalam sana, Dhary mengembuskan napasnya, menatap punggung yang kini menjauh berlari tergesa ke dalam.

Coffee shop tersebut tidak dalam keadaan buka.

Terlalu naif bila Dhary hanya akan mengatakan tempat itu tutup. Di dalamnya kini ada beberapa orang mengangkut kursi dan meja-meja keluar. Juga beberapa barang lainnya. Tak dapat dilupakan pula mobil pickup di depannya dan lalu-lalang orang yang berdiskusi bagaimana mereka harus melepas plang coffee shop tersebut.

Kasarnya, coffee shop itu akan tutup. Sebenar-benarnya tutup.

Setelah hari itu, Dhary jarang melihat Jihan. Beberapa kali ia melihat ketika ia melewati kelas Jihan, tetapi bila Dhary benar-benar berniat menemuinya, Jihan tidak ada.

Memang, tidak ada urusan yang mengharuskan mereka untuk bertemu. Tapi Dhary ingin tahu kabar Jihan.

Menghubungkannya dengan projek pun sulit. Selain karena sekarang ini hanya waktunya menunggu alga untuk tumbuh, mengontak Jihan juga susah. Seluruh media sosialnya tidak aktif. Bila online, hanya saat tengah malam dan itu pun sangat sebentar. Pesan-pesan Dhary sama sekali belum dibaca. Bahkan pesan dari hari itu, yang artinya seminggu lalu.

Final ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang