00

1.7K 141 2
                                    

"Maaf saya terlambat tuan Marvel." Sapa Jeno ramah. Tangannya dengan sopan terulur kedepan pria paruh baya yang duduk di single sofa didepannya.

Marvel tersenyum, menyambut tangan Jeno lalu minta pria itu untuk duduk.

"Sudah berapa kali saya bilang untuk memanggil saya dengan sebutan ayah. Kenapa kamu bebal sekali, Jeno?"

Jeno tersenyum kikuk "Rasanya tidak sopan tuan."

"Tidak sopan? Tidak sopan dibagian mananya Jeno? Kecuali kamu memanggil saya dengan sebutan anjing itu baru namanya tidak sopan."

"Anda sudah banyak menolong saya tuan Marvel. Jadi, panggilan tuan memang sudah sepatutnya saya sematkan untuk anda. Saya hanya bawahan Anda jadi tidak sopan rasanya jika saya memanggil dengan sebutan ayah, yang jelas-jelas saya dan anda sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga." Jelas Jeno.

"Baiklah, terserah pada diri mu saja. Tapi setelah ini saya yakin kamu harus mulai terbiasa memanggil saya dengan sebutan ayah."

Jeno mengernyit bingung.

"Jeno."

"Iya, tuan."

"Kamu masih ingat perkataan saya dua tahun lalu?"

"Menunggu hari ulang tahun saya yang ke 28?" Tanya Jeno memastikan. Ia ingat hari ini dirinya berulang tahun yang ke 28 tahun.

Marvel mengangguk lalu tersenyum. Ditatapnya pria berusia 28 tahun didepannya ini dengan seksama. Waktu berlalu begitu cepat, ia bahkan tidak menyadari kalau bocah sepuluh tahun yang ia bawa kerumahnya itu sekarang sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa yang cerdas dan jago dalam hal berbisnis.

Jeno Arka Atalarick namanya, Marvel memutuskan untuk merawat Jeno saat ayah Jeno mengalami kecelakaan tunggal dan berakhir meninggal dunia. Sebelum ayah Jeno meninggal, Marvel memang sudah terlebih dahulu mengenal Jeno. Ayah Jeno yang bernama Haris berhutang uang dengan nominal sangat besar kepada Marvel dengan Jeno sebagai jaminan.

Ayah dan ibu Jeno sudah bercerai sejak usia Jeno masih tujuh bulan dan ibu Jeno menikah lagi dengan seorang pria bule lalu pergi mengikuti suami barunya. Ayah Jeno merawat Jeno sendirian sesekali dibantu tetangga karena ayah Jeno juga seorang yang sebatang kara.

Jeno kecil tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang. Sejak usianya menginjak tujuh tahun, ayahnya menyuruhnya untuk mencari rongsokan dan mengemis setelah pulang dari sekolah.

Walaupun ayahnya tidak pernah memperlakukan Jeno dengan baik, setidaknya pria itu masih mau memberikan Jeno tempat tinggal dan makan. Jeno sangat menyayangi ayahnya, tanpa ayahnya mungkin Jeno sudah mati sejak bayi karena ibunya yang meninggalkan dirinya disaat ia masih sangat butuh asupan ASI dari sang ibu.

Kematian sang ayah memukul telak relung hati Jeno kecil. Jeno benar-benar sendirian. Tanpa ayah ataupun ibu. Tanpa saudara ataupun kerabat. Benar-benar sendirian.

Flashback

Bocah berusia sepuluh tahun itu menangis didepan makam baru. Makam ayahnya. Tangan kecilnya terkepal, memukul-mukul kepalanya sendiri berharap yang maha kuasa akan mencabut nyawanya juga.

Hidup sendirian tanpa sang ayah tidak pernah ada didalam pikiran Jeno. Kenapa harus ayahnya? Hidupnya sudah cukup menderita tapi kenapa orang yang setidaknya ada untuknya, menunggunya saat pulang sekolah walaupun hanya untuk menyuruhnya pergi mengemis. Harus pergi secepat ini.

"Hikss...kenapa ayah tinggalkan Jeno sendirian?"

"Jeno tidak nakal ayah."

"Jeno selalu menuruti perintah ayah. Mencari rongsokan atau mengemis pun Jeno akan lakukan tanpa rasa malu dan kesal hiks."

Jeno kecil terus menangis, bibirnya terus berucap 'mengapa ayahnya pergi' tanpa henti.

JEVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang