"Mas gak pusing mas tiap hari liat kertas-kertas banyak banget gitu?" Tanya Vana pada suaminya yang sedang sibuk membolak-balik lembar demi lembar kertas di tangannya.
"Enggak." Jawab Jeno singkat.
Sekarang pukul sepuluh malam, Vana belum berniat tidur jadi ia memilih pergi ke ruang kerja suaminya yang ada dirumah dan menonton kegiatan pria itu sejak dua puluh menit yang lalu.
Belum ada ada setengah jam Vana disini, ia sudah mati kebosanan melihat kegiatan suaminya. Bagaimana dengan pria itu? Apa Jeno juga bosan dengan pekerjaannya? Vana memang memiliki cafe tapi ia tidak bekerja seutuhnya, ada seorang yang Vana percayakan untuk mengurus cafe-cafe miliknya. Vana bagian menghitung uang saja karena Vana suka uang.
Jeno melirik kearah istirnya yang duduk di kursi depan meja kerjanya sambil melamun. Entah apa yang gadis itu pikirkan, Jeno tidak tau.
"Tidur Vana."
"Nanti."
"Udah malem, besok kamu bangunnya kesiangan kaya tadi pagi."
"Biarin. Ada mas Jeno yang bangunin Vana kok."
"Oh iya, tadi ayah telfon." Beritahu Vana "Ayah tanya em–itu kita jadi bulan madu apa enggak?" Lanjutnya sedikit mengecilkan suaranya. Mereka sudah membahas ini dua minggu lalu dan Jeno memberitahu kalau mereka tidak bisa pergi dalam waktu dekat karena pekerjaan Jeno yang sedang menumpuk.
Vana memaklumi itu, tiga bulan ia menjalani peran sebagai istri seorang Jeno. Yang ia tau dan sangat tau ternyata suaminya itu gila kerja. Vana pribadi tidak apa, daripada suaminya gila perempuan mending gila kerja dapat uang yang mana uang itu untuk kebutuhan keluarganya juga termasuk dirinya sebagai istri.
Tapi yang Vana tidak suka adalah ketika Jeno harus lembur sampai malam seperti ini. Seperti tidak ada hari esok saja.
Interaksi dan komunikasi mereka antar pasangan, Vana akui cukup baik. Meskipun Jeno selalu sibuk, pria itu menyempatkan diri untuk mengobrol, sekedar bertanya tentang kesibukan Vana hari ini, bagaimana keadaannya dan obrolan kecil lainnya.
Jeno menghela nafas, merapikan berkas-berkasnya kemudian ia masukan kedalam tas kerjanya supaya besok tidak terlupa.
"Mas marah?"
"Marah untuk apa?"
Vana berdecak kecil "Bisa nggak, kalau aku tanya tuh dijawab dulu baru tanya balik?"
"Nggak bisa reflek aja."
"Ishh, jadi mas marah gak?"
"Coba kasih tau alasan kenapa aku harus marah?"
Lagi-lagi Vana berdecak "Ya mas marah, marah karena ayah nanyain terus soal rencana bulan madu kita."
"Enggak marah, sayang. Lagian wajar kamu ataupun ayah tanya soal itu. Kita emang udah telat banget kalau mau bulan madu."
"Ayo tidur." Jeno mengulurkan tangannya kedepan wajah Vana dan disambut baik oleh gadis itu.
"Dari tadi kek begini." Vana memeluk lengan suaminya erat. Mereka berjalan bersama menuju lantai dua dimana kamarnya berada.
Sampai didalam kamar, Vana langsung melompat naik keatas tempat tidur sementara Jeno masuk kedalam kamar mandi terlebih dahulu untuk membasuh wajahnya.
Lima menit kemudian Jeno sudah kembali dari dalam kamar mandi. Ia berjalan kearah saklar lampu dan mematikannya terlebih dahulu sebelum bergabung bersama Vana yang sudah berbaring diatas kasur dan berguling-guling tidak jelas.
Jeno banyak berdoa semoga gadis itu tidak menggelinding jatuh dari atas kasur.
Belum ada dua detik Jeno mengucapkan doa, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang cukup kuat. Reflek ia kembali menyalakan lampu kamar dan menghela nafas lelah saat mendapati istrinya terduduk di lantai sambil meringis menahan sakit.
Jeno berjalan menghampiri Vana "Ngapain?"
"Ngepet. Harus banget aku jawab?"
Jeno tertawa pelan membuat Vana mendelik tak suka.
"Ihhh massssss... istrinya jatuh bukanya dibantuin berdiri atau diangkat atau apa kek. Ini malah diketawain."
"Salah siapa petakilan."
"Tolonginnnn...sakit pantat Vana hueee." Ucapnya merengek sambil merentangkan tangannya keatas berharap suami tampannya itu mau meraihnya dan membantunya berdiri.
Jeno mencubit gemas hidung mancung Vana lalu meraih tubuh kecil gadis itu untuk ia angkat.
"Buang kemana nih?"
Vana melingkarkan tangannya dileher Jeno semakin erat "Jangan dong, belum diapa-apain masa dibuang."
"Emang mau diapain?"
"Y-ya terserah sih mau diapain. Aku mah nurut dan manut aja sama perintah suami. Asal jangan nyuruh aku jadi begal, pelakor, pelacur apalagi hiiii amit-amit."
"Matiin, tangan ku gak nyampe."
Vana langsung menekan saklar lampu dan otomatis kondisi kamar seketika gelap.
"Kenapa? Takut?" Tanya Jeno saat merasakan lingkaran tangan Vana semakin mengerat. Jeno berjalan perlahan menuju tempat tidur bersama Vana yang masih berada dalam gendongannya.
"Kok gelap banget ya? Muka mas Jeno juga gak kelihatan. Hidungnya mana hidung." Vana meraba-raba wajah Jeno dengan random, hampir saja jemari gadis itu mencolok mata Jeno. Vana langsung meminta maaf dan menciumi pipi Jeno berulang kali.
Jeno membaringkan Vana diatas tempat tidur, ia menyusul kemudian berbaring disamping Vana. Ia juga menyalakan lampu tidur yang berada diatas nakas.
"Tidur Vanaaaa."
"Miring madep Vana coba biar aku bisa nyungsep didada kamu." Omel Vana sambil menarik-narik piyama yang dikenakan Jeno.
Tanpa banyak omong Jeno langsung mengubah posisi berbaringnya menjadi miring menghadap Vana dan meraih tubuh Vana untuk ia dekap erat didalam pelukannya. Vana sih baik-baik saja, ia malah semakin mengeratkan pelukannya di pinggang suaminya dan menyembunyikan wajahnya di depan dada bidang Jeno. Hangat dan nyaman.
"Vana."
"..."
"Vana udah tidur?" Jeno mengusap puncak kepala istrinya pelan.
Vana menggeleng pelan
"Kenapa diem aja? Aku manggil loh."
"Panggilnya pake sayang coba biar akunya semangat."
"Harus?"
"Harusss bangettt ngettt."
"Vana sayang." Panggil Jeno dengan nada pelan sambil mengusap-usap puncak kepala Vana lembut.
"Apa sayang." Balas Vana, mendongak menatap wajah suami tampannya.
"Selamat tidur istriku."
Vana langsung menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah memerah di depan dada Jeno. Apa-apaan suaminya itu, Vana tau itu kalimat biasa tapi akan menjadi luar biasa jika suaminya yang mengucapkannya.
"Kenapa?"
"Diem."
"Malu yah?"
"Diemm masss."
Jeno tergelak. Ia menarik selimut sebatas leher Vana, kalau ditarik sampai leher Jeno nanti Vana kelelep selimut.
"Mimpi indah cantik."
"Mas Jenooo ih."
"Iya iya udah enggak. Ayo tidur."
"Eh nanti dulu."
"Apalagi ya Alloh." Lelah Vana
"Berdoa dulu sayang."
"Udah."
"Beneran?"
"Hm."
Jeno mengangguk, memeluk tubuh Vana erat kemudian memejamkan mata dan tidur.
🌸🌸🌸
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
JEVANA
Fiksi PenggemarMenikah adalah kebahagiaan. Itu yang Jeno yakini untuk saat ini, sampai ia berani menyetujui permintaan seorang ayah yang meminta dirinya untuk menikahi putrinya.