Rainey
18 September 2020, Kantor Tim Gabungan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Ibukota Jaya Raya.
"Ck, udah demo lagi aja itu depan Istana Merdeka."
"Aksi Kamisan, kali."
"Bukan, demo. Kayaknya dari Kontras dan aktivis HAM deh. Sekilas baca di berita, mereka nyebut tim kita cuma gimmick pemerintah."
Semula, gue mengira bahwa 'demo' yang dimaksud adalah Aksi Kamisan yang diadakan oleh Kontras, keluarga korban pelanggaran HAM, dan para aktivis pembela HAM. Aksi Kamisan merupakan kegiatan rutin yang selalu dilaksanakan setiap hari Kamis, dengan tujuan menuntut diadakannya peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini masih terbengkalai.
Ternyata eh, ternyata ... aksi demo tersebut merupakan bentuk protes mereka terhadap Tim Gabungan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Bisa aja emang niatnya buat gimmick doang. Toh dalam sebulan terakhir, nggak ada satu pun bukti atau informasi yang kita dapetin, kan?"
Di satu sisi, gue mengamini ucapan Rendra. Sejak awal, pembentukan tim ini memang dirasa akan menjadi sebuah hal yang sia-sia. Semenjak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Tim Gabungan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu, gue sudah mulai skeptis dan beranggapan bahwa tim ini tidak akan efektif berjalan.
Menurut pendapat gue pribadi, penerbitan Keppres ini bisa dibilang sebagai keputusan pemerintah yang sangat ekstrim. Gue berpikir; bukankah dengan dibentuknya tim ini, negara secara tidak langsung mengakui bahwa mereka telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di masa lampau? Ke mana aja mereka selama puluhan tahun belakangan? Kenapa baru sekarang mereka buka suara setelah bungkam dan menutup mulut rapat-rapat dari kebenaran?
Dalam rangka apa? Pencitraan? Atau hanya membuat diam para penuntut keadilan dengan kinerja tim yang perlahan-lahan akan mereka matikan?
Dan sekarang, gue menemukan jawabannya. Tebakan gue tidak keliru. Sejak awal, pemerintah tahu bahwa pengungkapan kebenaran tentang kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi sangat mustahil adanya. Pendemo tidak salah, keberadaan kami bisa saja merupakan gimmick semata.
"Kamu nggak dapet info apa-apa, Ren, selama penyidikan?" Gue bertanya pada Rendra. Dia merupakan jaksa penyidik dari Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung yang ditugaskan ke dalam tim gabungan ini.
Lelaki itu menggeleng, "Enggak. Ini baru ngelacak terduga pelaku yang masih hidup di daerah Ngesti Praja. Tapi dari info yang didapetin, dia udah pikun, kena demensia. Sulit, kan?"
Sebelumnya, izinkan gue untuk menjelaskan perihal tim gabungan ini. Tim diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Nusantara yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Jumlah anggota pelaksananya hanya sembilan orang. Iya, lo gak salah baca, sem-bi-lan o-rang. Belum termasuk dengan ketua, wakil ketua, dan sekretaris.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...