6. Persembunyian Algojo

338 70 3
                                    

Guntur

Kerta Raharja, 26 Juni 1983

'Brak!'

Setumpuk kertas yang saya tebak tingginya mencapai 50 sentimeter itu dijatuhkan Cakti di atas meja kerjanya. Ia melepaskan ikatan tali rafia yang menjaga kertas-kertas itu agar tidak berhamburan. Lelaki dengan rompi abu-abu dan topi panama berwarna senada itu memberikan masing-masing selembar kertas kepada kami berempat lalu duduk di tepian meja miliknya.

"Cetak kilat, aku bayar dua kali lipat di percetakan milik paman dari pihak ibuku. Jumlahnya seribu lembar. Kita sebarkan dulu ke seluruh kota untuk menarik simpatisan warga."

Danar bertanya, "Siapa yang menyebarkannya? Kita? Bagaimana jika ketahuan?"

Entah sejak kapan, Saddam menggulung selebaran itu sehingga benda tersebut kini bisa dijadikan senjata penganiayaan. Ia memukul kening Danar dengan kencang, "Kita bayar orang, lah! Gila kali kau jika menyebarkan semua ini sendiri."

"Aahhh, begitu," saya ingin bertanya pada Danar namun takut menyinggungnya. Dia betulan kuliah tidak sih? "Aku paham sekarang," tambahnya. Tapi jika ia membeli gelar, lantas siapa yang mengobati Rolando ketika ia jadi korban salah hajar pada acara kampanye politik menjelang pemilu tahun 1982?

"Besok aku cari orang, sekarang biar aku selipkan beberapa ke dalam tas tamu-tamuku di bawah." Bar-nya sedang ramai, terlebih sekarang malam Minggu. Saat ke toilet, saya melihat sekumpulan anak muda yang mengunjungi bar sedang adu breakdance berlatarkan musik trio Hip Hop kenamaan- Sugar Hill Gang.

"Ayo, Tur, sebentar lagi pertandingan mulai." Rolando membuang puntung kreteknya ke dalam asbak. Dia berjalan mendekati Cakti untuk mengambil topi panama yang dipakai lelaki itu lalu meletakkan benda tersebut di kepalanya. "Aku pinjam topimu, wajahku sudah terkenal sebagai wartawan dari Warta Kota."

"Uuuuu, kamu terlihat keren, Do!" Danar mengangkat kedua jempolnya.

"Kau bisa pulang bawa dua wanita jika berpenampilan begitu," Saddam menyenggol lengan Rolando. "Mubazir sekali wajahmu itu, Do. Harusnya kau poligami tiga istri," ejeknya.

Saya tertawa, "Dia terlalu sibuk mengurus Maria dan Yolanda." Itu, ular dan iguana peliharaannya yang pernah aku sebutkan. "Ayo, kamu yang nyetir. Aku nggak tau tempatnya." Saya melemparkan kunci mobil yang langsung ditangkap secara sigap oleh Rolando.

Malam ini, saya dan Rolando akan ke tempat judi bola untuk menyaksikan pertandingan antara Jayaraya FC dengan Praja Utama. Kemarin sore saya diberi selembar kupon oleh Rolando yang katanya mesti saya isi dengan angka-angka. Rolando bilang, ada rumus khusus yang bisa digunakan untuk memprediksi nomor undian. Namun saya tidak mengerti dan tidak mau repot juga sehingga asal mengisi nomor acak di sana.

"Ini tempatnya, Do?" Tanya saya sewaktu mobil berhenti di depan warung kopi terkenal. Suasana sangat ramai, ada sebuah layar tancap yang terbentang di bagian paling depan. Dekat pintu masuk, terdapat sebuah meja yang menjual kupon lotre bagi mereka yang belum sempat membeli dan mengisi.

"Hm, ini tempatnya. Ramai sekali, kan?"

Rolando benar, orang dari segala jenis kalangan ada di sini. Mulai dari mereka yang pundaknya gosong karena terbakar matahari saat mengayuh becak, hingga mereka yang berpakaian sangat rapi layaknya pekerja kantoran. Judi bola ini diselenggarakan oleh yayasan milik pemerintah. Katanya, uang hasil pembelian kupon digalang untuk mengadakan pertandingan dan sisanya dijadikan hadiah walau ... saya tahu, ini hanya permainan.

Di masa ini, hampir setiap orang mengadu peruntungan dengan membeli kupon undian. Jika satu kupon dihargai seratus rupiah dan setengah dari jumlah penduduk Nusantara membeli kupon ini, maka uang yang terkumpul ada di kisaran 7,5 milyar rupiah. Katakan biaya pertandingan hanya memerlukan uang sebanyak seratus juta rupiah dan hadiah kupon hanya sebesar satu juta rupiah, maka sisa dari uang-uang itu akan masuk ke kas yayasan dan menjadi milik pemerintah.

PARADOKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang