Rainey
"Saya pulang duluan, ya."
"Eh, Ren, kamu mau ke rumah Opung?" Gue menutup laptop begitu saja ketika Rendra berpamitan di jam setengah enam sore. Lelaki yang tengah memakai jaket kanvasnya itu menganggukkan kepala. Gerakannya melambat, dengan sepasang mata yang menatap gue kebingungan.
"Iya, kan tadi Opung minta bantuan buat benerin pager rumah. Mau ... ikut?" Tawarnya hati-hati.
Gue memasukkan laptop ke dalam tas dengan segera lalu mengemasi sisa barang di atas meja, "Ikut! Saya ikut!"
Kepalanya sedikit ia miringkan, "Tumben? Kemarin aja gak mau, takut dikenalin yang aneh-aneh. Sekarang malah semangat banget. Kamu nggak kepelet Opung kan, Ra? Dia kaya sih, tapi masa iya kamu jadi nenek sambung saya?"
"Dih, jangan ngawur kamu, ya," yakali gue naksir Opung. Meski Opung Saddam tipikal tua-tua keladi, gue masih menaruh minat pada pria muda yang seumuran atau maksimal lebih tua beberapa tahun dari gue. Bukan yang ... beda puluhan tahun kayak Opung gitu.
"Saya pengen sharing aja sama Opung. Opung kayaknya berwawasan banget. Saya mau belajar banyak dari beliau."
"Tapi saya bawa motor, kamu gak apa-apa dibonceng pake motor?"
"Ya gak apa-apa, lagian saya gak pernah minta nebeng naik helikopter."
Gue agak tergelitik waktu liat Vespa matic warna kuning terang yang terparkir di parkiran khusus pegawai. Biar gue jelasin dikit visual Rendra ini seperti apa. Tingginya sekitar 175 cm-an. Otot tubuhnya cukup kekar walau bukan yang besar banget kayak binaragawan. Dadanya bidang, punggungnya lebar. Ya, pokoknya tipikal abang-abang standar PNS yang perawakannya harus tegap.
Terus, dia naik motor mungil yang menurut gue lebih cocok jadi motor operasional Barbie buat beli ikan ke pasar.
Ppff.
"Kamu gak naik? Atau mau dibonceng di depan kayak keponakan saya kalo minta jajan?"
Baru juga gue lucu-lucuin ni orang, udah ngeselin lagi aja mulutnya. Naik motor di kemacetan Ibukota itu banyak untungnya, soalnya bisa selap-selip sesuka hati tiap kali ada kesempatan. Tapi tenang, Rendra nggak melanggar hak pengguna trotoar kok. Dia masih taat berlalu lintas walau beberapa kali, gue gemes pengen getok helm-nya sewaktu dia nyalip di antara dua bus metromini.
Haduh, nyawa gue. Kalo kegencet bus bisa ketemu para korban penembakan tahun '83 dalam seketika, tau gak?
"Aku curiga kalau kalian cilok," mata Opung menyipit, ia memasang senyum miring yang bermaksud menggoda ketika melihat cucunya datang bersama gue lagi ke rumahnya.
"Cinlok, Pung. Cilok mah aci dicolok." Padahal apa susahnya sih, Ren, buat biarin Opung bilang cilok? Dia kan udah tua, wajar lah kalau lidahnya keseleo. Malah dikoreksi abis-abisan dong sama dia.
"Kau ini, hanya tertinggal satu huruf pun protes," sepertinya pertarungan Opung vs. Rendra akan segera dimulai. "Eh, Nak Rainey, Opung tidak masak hari ini. Opung baru selesai menyusun surat permohonan peninjauan kembali untuk pengadilan. Kau bisa masak tidak? Kalau bisa ... hehe, masak lah di rumahku."
"Opung malu-maluin aja, beli kan bisa," gue yang disuruh, tapi Rendra yang keberatan. Dia menaruh helm-nya di atas meja teras, sempat merapikan rambutnya sebentar sebelum berkacak pinggang untuk melihat gerbang yang miring karena anjlok dari relnya. "Kok bisa anjlok sih, Pung? Abis Opung apain deh?" Tanyanya.
"Cuma aku dorong waktu mau memasukkan mobil ke garasi, tapi macet. Saat aku dorong lagi, tau-tau anjlok. Aku tidak bisa membetulkannya, Ren." Ada nada memelas dalam setiap kalimatnya. Sayang banget karena cucu lo harus dia, Pung. Kata gue sih, kalo bisa dituker mah mending tuker aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...