Rainey
Gue masih gak bisa percaya kalau amplop cokelat di tangan gue ini berisi data soal Perhimpunan Pelindung HAM. Kaki gue lemes. Semuanya sangat jauh dari kata masuk akal dan sulit untuk dipercaya apalagi soal– bagaimana bisa email dari masa itu nyasar ke tahun 2020 yang berjarak 37 tahun dari sana?!
Multiverse?
Ya nggak mungkin lah! Meskipun teori dunia paralel itu ada, pembuktiannya masih lemah. Tapi ini– argh! Tolong, gue gak mau gila di usia muda.
"Buka, Ra, malah bengong."
Gue menjauhkan amplop yang gue pegang supaya nggak diambil oleh Rendra. Tajam sekali gue meliriknya, seakan mengatakan ini-punya-gue-dan-harus-gue-duluan-yang-buka.
"Kata si Ibunya, datanya gak lengkap dan berkas ini harus dibalikin setelah disalin kopiannya. Ren, ini saya gak mimpi kan? Email yang kita terima beneran dari tahun '83?"
Lelaki itu menghela napasnya, jengkel. "Kamu harus belajar menerima kenyataan konyol ini, Ra. Cepat buka, saya juga mau tau isi dokumennya apa." Gini ya rasanya dimarahin jaksa? Galak amat, Pak.
Setelah berdoa, gue mengeluarkan kertas yang tampaknya kurang dari sepuluh lembar itu dari dalam amplop. Warnanya menguning, baunya juga sangat khas seperti kertas tua yang sudah berusia belasan hingga puluhan tahun.
"Didirikan pada Juni 1983 oleh Guntur Bahuwirya. Gun– GUNTUR?!" Sadar bahwa gue tidak akan bisa fokus saat membacanya, Rendra merebutnya secara paksa dan membiarkan gue terlarut dalam kekagetan luar biasa.
Kening Rendra mengkerut saat ia membaca lembar demi lembar tulisan di kertas itu. Tak sampai semenit, lelaki itu menyerahkan kembali berkas tersebut lalu menghempaskan punggungnya secara kasar pada jok yang didudukinya. "Gak ada informasi apa-apa selain nama pendiri, jumlah anggota, dan konsentrasi perhimpunan mereka," katanya.
"Mereka dikatakan sebagai perhimpunan yang aktif sampai awal tahun 1984 dan menjadi perhimpunan pertama yang menyuarakan kepada masyarakat bahwa penembakan misterius adalah pelanggaran HAM berat. Tidak ditemukan jejak lain. Bahkan, nama anggotanya juga gak disebutkan selain nama si pendiri yang juga menjadi pengirim email misterius tersebut."
Gue merasa ada yang ganjil dari data ini. Di halaman paling depannya, gue melihat kapan laporan ini pertama kali diterima oleh Komnas HAM yang ternyata sudah 19 tahun lalu. Tepatnya, Himpunan Pelindung HAM baru dilaporkan tahun 2001 oleh ... Tn. S? Siapa?
"S?"
Rendra menoleh, "Inisial si pelapor, PR juga nih buat nemuinnya. Laporan anonim masih berlaku di Komnas HAM, identitas pelapor bisa berupa inisial nama depan aja demi keamanan."
Ada-ada aja. Tapi kasus besar seperti ini memang sangat rentan. Keamanan pihak-pihak seperti pelapor, saksi, dan korban bisa menjadi taruhan.
"Yang penting ada evidensi nyata bahwa ... kejadian di tahun 83 benar-benar terjadi lewat dokumen ini. Email yang kamu terima gak bohong, Ra." Rendra menyalakan kendaraannya. Kedua tangan gue masih bergetar, sekali lagi gue ingin denial namun kenyataan sudah membicarakan faktanya. Pelindung HAM benar-benar ada, informasi dari email itu valid. Persetan dengan kewarasan jika memang kekonyolan ini bisa membantu kasus bertemu kebenaran.
"Kok ke sini? Kan ke kantor belok," gue bertanya saat Rendra tidak belok kiri di perempatan.
"Ke rumah kakek saya, kan tadi saya sudah bilang dan kamu setuju."
"Ha? Kapan saya bilang setuju?" Meski nyaris gila, gue belum gila beneran. Gue masih ingat betul bahwa gue tidak memberikan jawaban atas ajakannya yang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...