8. Penyelundupan Para Korban

296 63 0
                                    

Guntur

"Berhenti di sana, Nar," saya menunjuk sebuah pohon beringin besar yang akar gantungnya menjuntai hingga nyaris menyentuh tanah. Kendaraan Cakti ia parkirkan di sana. Sekilas, orang tidak akan sadar bahwa ada sebuah mobil yang berhenti di bawah pohon karena terhalang akar dan belukar.

"Ouh, sial, rumput ini melukaiku!" Lengan Rolando mendapatkan luka gores karena menerobos rumput liar yang pinggirannya tajam. Ia sibuk melumuri lukanya dengan air liur sampai mendapatkan pukulan pelan dari Danar.

"Do, jangan pakai ludah! Ludahmu itu mengandung banyak bakteri, nanti lukamu bisa infeksi, tahu!"

"Persetan, ini manjur kok." Rolando tidak salah juga sih, orang tua kami selalu melakukan hal serupa ketika kami kecil dulu dan memang manjur! Rasa sakitnya hilang, lukanya juga kering dengan cepat.

"Sia-sia aku sekolah kedokteran jika kamu masih percaya pada hal bodoh seperti it–"

"Sstt! Ada kendaraan lewat!" Sontak saja kami berlima jongkok di antara semak-semak ketika sebuah mobil pikap keluaran Toyota lewat di atas jalan berlumpur. Tiga orang yang berdiri di bak mobil itu menggunakan seragam lengkap, di dekapannya ada senapan kaliber yang selalu berada dalam posisi siaga– siap kapan saja diletuskan.

"Aku rasa Danar benar," baru setelah mereka masuk ke area gedung penelitian, kami berdiri. "Pasti di dalam sana ada markas militer. Atau, gedung penelitian botani itu sedang dialih-fungsikan sebagai tempat penyekapan." Ini hanya prasangka buruk saya, namun siapa tahu jika prasangka tersebut benar?

"Terus sekarang gimana, Tur?" Cakti masih jadi yang paling bersemangat. "Apa kita akan masuk ke sana? Seperti James Bond, si agen rahasia nomor tujuh!" Ia meninju angin kosong di depannya. Saya curiga, jangan-jangan lelaki ini minum satu tong anggur makanya bisa sampai ngawur separah ini. 

'Plak!'

Tangan Saddam mendarat di kepala Cakti, "James Bond, James Bond, bapak kau jaga kebon!" Nah, darah bataknya sedang naik. "Kita datang dengan tangan kosong, sedangkan mereka bersenjata. Orang bodoh seperti kita lebih baik diam lalu dengarkan arahan dari Guntur. Bagaimana, Bung? Kau punya rencana?"

"Mari kita masuk diam-diam lewat sisi."

"Kau sama gilanya dengan orang mabuk ini ternyata," umpat Saddam. "Tapi baiklah, ayo kita coba. Akan kupertaruhkan nyawaku untuk ini walau aku belum menikah. Kumohon, Tuhan, jangan biarkan aku mati muda, apalagi aku masih bujangan." Ia memanjatkan doa yang terdengar berlebihan.

Kami menyusuri jalan setapak di sisi pagar besi berkarat yang membatasi hutan pinus dengan gedung penelitian. Ada dua kendaraan yang terparkir di pelataran. Yang satu adalah mobil pikap tadi, sedangkan yang satu lagi merupakan mobil Hardtop yang– sebentar, itu mobil yang tadi malam kita ikuti, kan?!

"Tur, itu mobil yang semalam kita buntuti," Rolando juga menyadarinya.

"Benarkah itu, Bung? Wah, aku merinding, lihat!" Saddam menunjukkan kulit tangannya yang meremang. "Kita benar-benar masuk ke sarang algojo. Mimpi apa aku semalam?" Selanjutnya, ia menampar pelan kedua pipinya dengan tangannya sendiri.

"Gedungnya sempit ternyata," saya tidak menggubris tingkah dramatis Saddam. "Aku gak liat satu pun penjaga atau insinyur yang bekerja," kata saya sembari melihat ke setiap sudut luar gedung bergaya indische itu.

"Lihat itu," kami berjongkok di balik pagar yang penuh rumput ini untuk bersembunyi lagi. "Itu mereka, kan?" Cakti berbisik, jarinya menunjuk celah jendela kayu yang terbuka sehingga penampakkan di dalamnya bisa terlihat.

Ada lima pria dewasa yang tubuhnya diikat menggunakan tambang. Kepala mereka ditutup oleh karung berukuran kecil. Posisinya beragam. Ada yang berlutut di lantai, ada pula yang meringkuk pasrah tanpa bergerak barang sedikit saja. Mereka belum mati, kan? Orang-orang yang mereka culik itu ... belum dibunuh, bukan?

PARADOKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang