7. Gerakan Pertama

306 67 0
                                    

Guntur

Pukul sembilan pagi, rumah sudah berisik oleh ocehan pria-pria menyedihkan. Majalah Penthouse yang datang tiap satu bulan sekali itu tiba pagi ini dengan diantarkan seorang kurir surat kabar. Biasanya, saya akan ikut histeris tatkala mengagumi lekukan tubuh para model di dalam sana. Namun kali ini saya sedang kehilangan minat karena mempunyai banyak hal untuk dipikirkan.

"Woaaahhh, tubuhnya bagus sekali! Kau lihat lekukannya, seperti jam pasir!" Saddam bisa ngiler sungguhan jika ia terus menerus ternganga saat melihat foto seksi di sana.

"Rolando harus segera melihat ini, dia model favoritnya," ucap Danar. Jarinya menyentuh permukaan kertas dengan otak kotor yang entah berkelana ke mana.

"Omong-omong, dia ke mana, Tur? Dia bilang kita ada rapat dan harus kemari sepagi mungkin, tapi sendirinya datang terlambat." Cakti melihat jam Rolex di pergelangan tangan kirinya. Itu jam mahal, edisi yang hanya bisa dilihat iklannya lewat majalah fashion pria.

Mata Danar memicing, "Eheeyy, dia kan memang rajanya telat. Pasti dia memandikan dulu Iguana brengsek bernama Maria itu."

"Iguananya Yolanda, Maria itu Piton Sumatera." Saddam mengoreksi. "Nar, kabel di kepalamu kebasahan, ya? Kau sudah coba menemui teknisi listrik? Siapa tahu ada korsleting makanya kau jadi bodoh begini." Sarkasmenya tak pernah gagal. Mulut Saddam memang pedas.

Sebelum mereka bertengkar, saya menjawab rasa penasaran keduanya. "Nah, dia baru saja datang dengan segepok uang," perhatian mereka langsung tertuju ke arah pintu yang terbuka. "Semalam, Rolando menang undian, satu juta. Dia baru mencairkannya, makanya terlambat."

Decakan kagum terdengar. Lelaki yang berjalan bangga ke dalam rumah itu menaruh amplop cokelat yang dipegangnya ke atas meja lalu berkata, "Dana operasional untuk Pelham. Ambil gaji kalian dari sana, aku tidak butuh. Uangku masih banyak."

"Kita bisa beli mobil pikap baru!" Kata Danar.

"Ck! Untuk apa?! Kau ini aneh-aneh saja."

"Oh, selebaran sudah dibagikan," bukannya duduk di atas kursi, Cakti malah bersandar di sisi rak buku dengan kedua tangan yang terlipat depan dada. "Aku membayar para pengantar koran yang butuh uang. Mulai malam ini, mereka akan menyebarkannya ke setiap rumah," beritahunya.

"Bagus kalau begitu, karena semua orang sudah berkumpul, aku akan memberitahukan penemuan kami berdua tadi malam. Aku dan Guntur mengikuti algojo yang menonton pertandingan bola di Naripan. Mereka sudah menentukan target untuk besok, yaitu para preman pengelola parkir di Pasar Baru."

Atmosfer di ruangan ini berubah serius. Cengiran Danar menghilang, dia sama kagetnya dengan Cakti dan juga Saddam. Sekarang giliran saya yang bersuara, melanjutkan apa yang sebelumnya sudah Rolando informasikan.

"Ada lima orang yang sedang mereka incar, aku butuh berembug dengan kalian untuk menentukan langkah yang mesti kita ambil. Semalaman penuh, aku memikirkan masalah ini. Ada yang mau ikut denganku untuk menangkap– maksudku, menyelamatkan target mereka lebih dulu?"

Saddam menautkan kesepuluh jari jemarinya, "Maksudmu, kau mau kita menyembunyikan para target itu?" Saya mengangguk. "Lalu bagaimana cara kita menemukan mereka? Mereka pasti sedang bersembunyi juga kan?"

"Aku sudah punya alamat mereka," saya tidak berbohong ketika saya bilang, saya sudah memikirkan rencana ini semalam suntuk. "Berjarak tiga rumah dari sini adalah rumah pegawai dinas kependudukan kota, dia tetanggaku. Lewat dia, aku mendapatkan alamat mereka. Ini, kelimanya tinggal di Jamika. Di kontrakan Haji Duhri."

Danar menjentikkan jarinya, "Aku tau kontrakan itu, memang besar sekali, mungkin ada 20 pintu. Waktu kapan, ya? Ada yang melahirkan di sana lalu dukun beranak tidak bisa mengeluarkan plasentanya dan lurah setempat memanggilku."

PARADOKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang