Rainey
23 September 2020, Kantor Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil, Ibukota Jaya Raya.
Sudah dua puluh lima menit lamanya gue duduk di kursi tunggu kantor Ditjen Pencatatan Sipil untuk menunggu panggilan. Sebetulnya pengecekan data bisa dilakukan di kantor secara daring, namun terkhusus data penduduk atas nama Guntur Bahuwirya, datanya tidak ditemukan dan kemungkinan besar masih tercatat secara manual di gudang arsip kantor pusat.
"Nomor antrian 031!"
Itu nomor gue. Sewaktu satpam berteriak, gue langsung maju ke counter 06 dan dilayani oleh seorang petugas laki-laki bernama Dika. Dia memberikan sapaan ramah sesuai standar, lalu mulai memberikan penjelasan atas permintaan gue sebelumnya.
"Ibu Rainey meminta pengecekan data kependudukan atas nama Guntur Bahuwirya yang lahir di kisaran tahun 1955 sampai 1960, ya?" Sekali lagi, dia memastikan. "Baik, di sini tertulis untuk kepentingan penyidikan karena Ibu merupakan ... anggota Tim Gabungan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia?" Ada kekagetan di wajahnya saat mengetahui pekerjaan gue apa.
"Betul, Mas," gue mengonfirmasi.
"Baik, Ibu, sebelumnya kami meminta maaf karena membutuhkan waktu lama untuk mencari datanya. Data-data penduduk baru terkomputerisasi pada tahun 2000, itu pun bagi penduduk berstatus Warga Negara Nusantara yang masih mendiami wilayah Nusantara, belum meninggal dunia, dan tidak dinyatakan hilang oleh kepolisian."
Ada harapan yang tiba-tiba redup ketika petugas tersebut memberikan pemaparan. "Mohon maaf, Ibu, KTP atas nama Guntur Bahuwirya sudah non-aktif. Namun, kami punya data yang terakhir diperbarui pada tahun ... 1983? Iya, betul, tercatat aktif sampai 1983."
Dia memberikan salinan KTP jadul kepada gue, "Ini, silakan dicek dan dipastikan kembali," katanya.
Guntur Bahuwirya. Lahir pada 18 Maret 1958. Pekerjaannya wartawan dan bertempat tinggal di Kerta Raharja. Fotonya terlihat jelas, ia cukup tampan untuk ukuran lelaki yang tumbuh dewasa di tahun 80-an. Selain KTP ini, tidak ada informasi lain yang bisa didapatkan seperti salinan kartu keluarga, catatan kerabat, dan lain sebagainya.
"Namanya ada di laporan orang hilang nggak ya, Mas? Atau ... apa ada catatan kematiannya?"
"Sebentar, saya cek dahulu," dia mengetik cepat di atas keyboard komputernya. Semenit kemudian, lelaki itu menggeleng. "Tidak ada, Bu. Tidak ada catatan imigrasi juga. Sepertinya, kematiannya tidak dilaporkan ke pencatatan sipil. Ada yang bisa kami bantu lagi, Bu?"
Gue menggeleng lalu tersenyum tipis kepadanya, "Sudah cukup, Mas. Ini, salinannya saya ambil untuk keperluan dokumentasi tim kami, ya. Terima kasih banyak, Mas."
"Baik, silakan. Sama-sama, Ibu Rainey. Selamat beraktivitas."
Gue berjalan lunglai meninggalkan kantor milik pemerintah itu. Udara pengap Ibukota gue hirup sebanyak-banyaknya tatkala gue telah berada di luar bangunan. Si pengirim email ternyata benar-benar ada. Namun, ke mana ia sekarang? Kenapa data kependudukannya tidak diperbaharui setelah tahun 1983 berlalu?
Dia tidak mati, kan?
Dia ... tidak hilang secara misterius, kan?
Atau jika dia pindah kewarganegaraan, sekarang ia di mana? Mungkinkah dia berganti nama? Tapi kenapa tidak ada satu pun catatan yang bisa menunjukkan bahwa eksistensinya masih tetap 'ada'?
'Drrtt!'
Gue batal memesan taksi ketika sebuah pemberitahuan muncul di bar notifikasi. Pekikan gue tertahan, untuk yang ketiga kalinya, gue menerima email ini lagi. Setelah membacanya, gue menutup aplikasi surat elektronik yang terinstal pada ponsel lalu mencari nomor seseorang yang butuh dua kali panggilan agar ia mau mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...