Rainey
Paling cuma email iseng.
Abaikan aja, Rain. Palingan email itu berasal dari orang gak ada kerjaan yang sengaja pengen bikin lo kebingungan. Identitas lo sebagai anggota Tim Gabungan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia bukanlah rahasia– publik se-Nusantara pun mengetahuinya.
Ayolah, ini 2020. Apa sih yang gak bisa dicari di era ini?
Akun instagram? LinkedIn? Alamat email? Pasti gampang ditemukan dengan bermodalkan nama lengkap lo aja.
'Ting!'
Demi Tuhan, notifikasi email yang masuk ke laptop selalu membuat gue gemetar. Beberapa jam lalu, waktu ketua pengarah yang posisinya diisi oleh Menko Polhukam meng-forward sebuah file ke email gue untuk diperiksa, gue keringetan. Gue takut kalo email iseng itu datang lagi. Gue ngerasa diteror karena terkhusus kasus penembakan misterius 1983, bukti, saksi, dan keterangan yang didapatkan masih sangat minim.
"Heh, malah ngelamun!"
Oke, Rain, entar aja buka emailnya. Sekarang jam istirahat dan lo berhak untuk mengistirahatkan pikiran lo. Teguran yang gue dapatkan dari Rendra hanya gue hadiahi sebuah senyum sebagai tanggapan.
"Gimana di Ngesti Praja?" Gue rasa, Rendra baru pulang makanya gue bertanya demikian.
Dia menyeret sebuah kursi lalu meletakkannya di depan meja milik gue. Setelah duduk, ia menjawab. "Gak dapet apa-apa, orangnya udah gak konek banget, Ra, udah sepuh." Namanya juga kena demensia, apa sih yang diharapkan?
"Tapi identitasnya udah diverifikasi?"
Rendra mengangguk, "Namanya Soemitro. Tahun '83, pangkatnya Sersan Mayor. Menurut catatan keluarganya, beliau dipindahkan ke Kerta Raharja sekitar bulan Juni karena naik pangkat jadi Pembantu Letnan Satu atau Peltu, tepat tiga minggu setelah operasi penumpasan preman di Ngesti Praja meledak."
Gue kaget banget waktu Rendra tiba-tiba menjentikkan jarinya di depan muka, "I got something important! Jangan panggil saya jaksa penyidik kalo saya gak dapet apa-apa selama di sana."
"Dia anggota Pangkopkamtib di rezim itu, liat ini, Ra." Rendra menunjukkan sebuah foto yang ia perbesar sampai sebuah objek terlihat. Di belakang lima orang tentara yang berfoto bersama, ada sebuah plang yang membuat Rendra yakin bahwa ia memang salah satu pelaku.
"Dia foto di depan kantor Pangkopkamtib Kota Ngesti Praja pada bulan Mei– beberapa hari sebelum penumpasan merebak di sana. Bukan rahasia umum kalau Pangkopkamtib Tentara Nusantara sejak dulu dituduh sebagai eksekutor yang ditunjuk pemerintah. Memang gak ada catatan pasti karena kemungkinan besar datanya sudah dihilangkan, namun foto ini patut dicurigai. Sepertinya informasi yang kita dapatkan benar." Wajahnya ditekuk, "Sial, coba aja kalo dia gak pikun!"
Iri deh gue sama Rendra. Seenggaknya, dia udah punya target yang akan dirinya selidiku. Sedangkan gue? Masih mentok di situ-situ aja tanpa ada kemajuan.
"Tim kita nasibnya gimana sekarang, Ren?" Gue dan Rendra seumuran, jadi komunikasi di antara kita bisa terjalin dengan santai. "Media makin panas, kamu denger sesuatu dari atasan gak?"
Lelaki yang sikapnya selalu tenang– atau menurut gue nyerempet polos itu malah sibuk melipat secarik kertas menjadi origami perahu. "Enggak, tapi kalo emang mau dibubarin sama presiden, harusnya udah keluar instruksi atau keputusan presiden yang baru, sih," ucapnya.
Setelah jadi, perahu itu ia berikan kepada gue. "Presiden serba salah, Ra. Kalo dibubarin, dia ngaku bahwa tim gak bisa dapeti apa-apa dan cuma menghamburkan anggaran negara. Kalo gak dibubarin, ya sama aja sebenernya, cuma seenggaknya gimmick buat naikin citra berhasil. Ujungnya tinggal nunggu masa kerja 4 bulan tim selesai, ngadain konferensi pers, minta maaf, kelar. Haha."
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...