3. Lahirnya Pelham

465 85 4
                                    

Guntur

Mayat mengenaskan itu masih tergeletak di pinggir jalan. Tidak ada satu pun orang yang berani mendekat atau menyentuhnya. Guna menjaga bisnisnya dan bisnis orang-orang di sekitarnya, Cakti berlari masuk ke dalam bar untuk menelepon polisi di polsek terdekat.

"Bung, jangan," Saddam mencegah saya untuk menyentuh jasad yang separuh tubuhnya keluar dari karung. "Kau jangan sentuh dia, jangan cari gara-gara. Aku yakin, algojo yang menurunkan mereka masih mengawasi," ia memperingati.

Pandangan saya mengedar. Di antara puluhan orang yang mengerubuti mayat ini, ada beberapa yang berbalik badan setelah menutupi setengah wajahnya dengan ujung topi. "Mereka sudah pergi," ucap saya ketika orang-orang tinggi besar itu menghilang perlahan di tikungan jalan.

"Minggir! Polisi datang!" Cakti menyuruh warga yang berkerumun supaya memberikan jalan kepada mobil polisi yang datang.

Samar-samar, terdengar Saddam berbisik. "Bung, bagaimana kau bisa memanggilnya dalam waktu singkat?"

Cakti balas berbisik, "Mereka tau kalau aku ini anak Sutardi Wibawa."

"Woah, keren. Enak sekali kalau jadi anak pejabat. Apa aku harus suruh Ayahku di Batak untuk jadi anggota DPRD Juga?"

"Ayahmu dulu lulusan mana?"

"Katanya ayahku pernah sekolah di Sekolah Rakyat, eh, atau tidak sekolah, ya? Sebentar, aku lupa."

"Hm ... hartanya banyak tidak?"

"Lumayan, dia punya tiga kerbau, lima hektar tanah, dua rumah, tapi satunya dijual untuk biaya sekolah hukumku jadi–"

"Diam!" Saya membentak kedua orang yang malah membicarakan sekolah dan kekayaan milik ayahnya. "Kalian ini kenapa sih? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas riwayat pendidikan dan harta kekayaan ayahmu! Lihat ini," saya mengambil sebuah amplop yang terselip di antara lengan dan ketiaknya. "Modus baru," kata saya.

"Jika kalian tidak berkepentingan, silakan mundur dan menjauh dari–"

"Maaf, saya yang menelepon." Cakti maju sewaktu seorang polisi berseragam lengkap yang celananya sangat ketat seperti hendak sobek itu menegur. "Cakti Wibawa," katanya sembari berjabatan tangan. "Mereka teman saya. Yang ini litigator, ini jurnalis. Bisa beri kami izin untuk memeriksa kan, Pak? Besok malam, saya beri minuman gratis untuk Polsek Kebon Kalapa di bar."

Negeri korup!

Semudah itu pria yang bau keringatnya bercampur dengan bau kretek itu mengangguk– angkuh. "Baiklah," ujarnya. "Lagipula dia ini si Bonar, Botak Onar. Tidak perlu pemeriksaan polisi karena kematiannya sudah seperti hadiah."

Setelah diberi keleluasaan, saya berjongkok untuk memeriksa isi dari amplop yang warna putihnya sudah agak kecokelatan akibat noda darah. Ada selembar uang bergambar relief Candi Borobudur yang nominalnya sebesar sepuluh ribu rupiah, beserta sebuah catatan kecil di atas sesobek kertas lusuh.

'Oeang oentoek pemakaman'

Tintanya tidak terlalu jelas, sedikit pudar karena tetesan darah yang sudah mengering di sana.

Saya, Cakti, dan Saddam saling berpandangan. Ini gila.

***

Rumah pinggir kota yang pagarnya tertutup tanaman rambat ini lagi-lagi menjadi tempat kami berkumpul. Kali ini, Rolando dan Danar juga hadir. Hari nyaris melewati tengah malam, namun kami berlima masih betah duduk berkumpul sembari meminum kopi dan memakan singkong goreng sebagai camilan.

"Aku akan mendirikan Pelindung HAM."

Keterkejutan muncul secara serempak dari empat orang lainnya, "Tur, kamu mau jadi incaran rezim?"

PARADOKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang