-----
Dari : Guntur • Guntur17@net.id
Kepada : RaineyArundati@gmail.com
Tanggal : 18 September 2019 17.02Halo, Amnesty International. Saya Guntur, salah seorang sarjana hukum sekaligus jurnalis dari Nusantara. Surel ini saya kirimkan sebagai bentuk pengaduan dari seorang warga sipil yang resah dengan rezim di negaranya.
Karena meningginya angka kejahatan yang terus terjadi di negara kami, pemerintah mengambil sebuah tindakan yang pada awalnya kami anggap sebagai jalan yang efektif. Residivis, preman, berandalan, dan geng-geng meresahkan ditangkap sampai keadaan aman. Namun akhir-akhir ini, kami selalu menemukan mayat yang dibuang ke jalanan. Ciri-ciri fisik para mayat itu sangat khas dengan figur kriminal dan beberapa dari mereka memang memiliki catatan kejahatan.
Mereka menyebutnya shock therapy, tapi kami rasa, hal itu semakin bertentangan dengan kaidah kemanusiaan- termasuk adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia seperti penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, sampai perampasan kemerdekaan dengan sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum Internasional.
-----
Guntur
Kerta Rahardja, Bulan Juli 1983.
"Bagaimana? Mungkin kamu harus coba kirim surat melalui Pos, Bung. Beli saja perangko, kayaknya surel nggak begitu berguna."
Saddam berkomentar. Ia pasti ikut lelah karena sudah beberapa puluh menit ini, yang saya lakukan hanya memandangi layar komputer dengan tulisan berwarna hijau rumput. Tidak ada tanda-tanda bahwa surat elektronik yang saya kirimkan ke Amnesty Internasional di London itu telah mendapatkan balasan. Padahal, sudah tujuh hari sejak saya mengirimkan surel ini kepada kantor pusat mereka.
"Apa aku salah menulis alamatnya, ya?" Lagi-lagi, saya mengeja satu demi satu huruf yang berada di bagian penerima surel. Betul, kok. Saya tidak salah ketik. Jika jurnalis seperti saya melakukan salah ketik, itu artinya saya masih amatir, bukan profesional.
"Amnesty International terlalu sibuk mengurus Perang Iran dan Irak yang belum selesai, Dam." Belakangan ini, radio sering sekali memberitakan informasi soal perang yang terjadi di Timur Tengah tersebut. Kabarnya, keadaan memanas dengan korban-korban yang semakin bergelimpangan. "Mereka pasti tidak punya waktu untuk menangani laporan pelanggaran hak asasi di negara kita."
"Kau harusnya pergi ke sana juga, Do. Di sini kau kan cuma bisa diam karena media sedang dibungkam, HAHAHA." Bukan ejekan, yang dilayangkan Saddam barusan lebih kepada sarkasme menyedihkan. Lelaki yang rambutnya agak ikal itu hanya dapat tersenyum, lalu selanjutnya memasang kuda-kuda sampai Saddam membuat perlindungan untuk jaga-jaga jika suatu ketika dia terkena pukulan.
"Sabar lah, kalian kira surel yang kita kirim ini jaraknya hanya antar kecematan saja? Bisa aja kan transit dulu, di peta aja butuh menyebrangi laut dan benua buat sampai ke Amerika, pasti internet juga begitu." Lihat si bodoh ini, saya bahkan tidak ingin mempercayai fakta bahwa lelaki bernama Danar Suaka ini merupakan seorang dokter lulusan Universitas Nusantara.
"Terus saja kau hubungi mereka, Bung. Laporkan setiap tragedi yang terjadi. Siapa tahu, mereka akan bertindak dalam waktu dekat." Tanpa harus diberi saran pun, hal tersebut sudah pasti akan saya lakukan. Jika Amnesty Internasional saja tidak mampu bertindak, jangan heran jika selanjutnya saya akan melaporkan hal ini ke Mahkamah Pidana Internasional PBB.
"Aku nggak menaruh harapan besar, sih," ada keputusasaan dalam suara saya. "Ini kan akal pemerintah, maksudku ... yah, kita bisa apa? Amnesty Internasional pasti gak akan bisa berbuat banyak selain memberikan teguran. Tetap, rezim lah yang berkuasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
Historical FictionSebuah email dari tahun 1983 yang ditujukan untuk Amnesty International di London tersesat ke tahun 2020. Email berisi laporan dan detail kejadian mengenai penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1983 itu diterima oleh seorang anggota Tim Gabun...