"Minum obatnya ya, Bu." Nyai Mufarikah menerima obat berbentuk pil itu dari tangan anaknya. Aya merasa kasihan pada ibunya. Setiap minum obat pasti dengan jumlah banyak. Dalam hati dia berdoa agar Allah segera mengangkat penyakit ibunya. Agar beban dalam hatinya juga berkurang. Terkirimnya foto Tristan bersama perempuan bernama Nina Suwandhi mulai menggoyahkan pertahanan hatinya.
Belum juga dia bisa bersahabat dengan hatinya agar bisa menerima kehadiran Imran, muncul foto Tristan bersama perempuan lain di kamar hotel. Di foto, Tristan memang tengah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada Rabb-nya, tetapi perempuan yang tiduran di sampingnya membuat hatinya panas.
Berkali-kali terdengar dia beristighfar. Naluri Nyai Mufarikah sebagai seorang ibu mengatakan bahwa anaknya ini dalam masalah.
"Kamu ada masalah, Nduk?"
Gadis itu terperanjat dan buru-buru memperbaiki duduknya yang tidak tenang. Sebisa mungkin dia harus menyembunyikan perasaannya di hadapan sang ibu. Dia tidak ingin masalahnya dengan Tristan didengar ibunya. Kondisi ibunya belum stabil. Wanita yang melahirkannya itu tidak boleh sedih dan mendengar hal-hal yang membuat kondisinya ngedrop.
"Setiap manusia mempunyai masalah. Alhamdulillah, Aya sudah menemukan jalan keluarnya. Ibu jangan khawatir," tukas Aya meyakinkan ibunya. Wanita bermata cekung itu mengangguk pelan. Dia yakin anaknya ini pintar dan akan bisa menyelesaikan setiap masalahnya dengan bijaksana.
"Pemuda itu masih menghubungimu, Ay?"
Aya menunduk. "Selama ini Abah dan ibu sudah memberi izin Aya untuk menempuh pendidikan di Jakarta. Aya yang tidak tahu bersyukur ini malah membawa pulang ... orang yang tidak kalian sukai. Bagaimana mungkin Aya akan mengecewakan Ibu dan Abah?" Kata-kata yang keluar dari mulut mungil anaknya ini membuat hati Ibu Nyai Mufarikah lega.
"Alhamdulillah. Dia memang tidak pantas untukmu, untuk keluarga kita, dan masyarakat di desa ini. Semua orang akan menuduh Abahmu tidak becus mendidik dan mengarahkan anaknya dalam mencari jodoh." Kepala Aya makin tertunduk. Dia tidak kuasa mengangkat wajah di depan ibunya. Hatinya meronta. Dia tetap berdoa agar Allah menjodohkan dirinya dengan Tristan.
"Mengapa keluarga kita membeda-bedakan orang yang akan menjadi calon menantu di rumah ini, Bu?" Aya bertanya dengan suara lirih padahal jawabannya sudah dia hafal di luar kepala.
"Bukankah Abahmu sudah menjelaskan to, Nduk?" Aya mengangguk.
"Bahwa menikah itu tidak boleh asal tunjuk dan suka. Kalau dalam istilah Jawa, kita harus melihat bibit (garis keturunan), bebet ( status sosial ekonomi), dan bobot (kepribadian dan pendidikan). Kalau dalam tuntunan agama, kita diharuskan menikah dengan wanita atau laki-laki karena hartanya, keturunannya, kecantikannya atau ketampanannya, dan terakhir agamanya. Namun, kita diharuskan untuk memilih agamanya agar kita beruntung. Ibu lihat pemuda itu tidak memenuhi semuanya."
Hati Aya meneteskan air mata. Tristan yang Aya kenal memang tidak memiliki keluarga--Tristan merahasiakannya-- meskipun kini dia rajin bekerja. Tampan tapi bertato bagi keluarga Aya tidak memenuhi syarat. Apalagi pengetahuan agamanya. Boleh dibilang pengetahuan Tristan tentang agama jika dibandingkan dengan pengetahuan anak Madrasah Ibtidaiyah–setingkat SD– masih jauh.
"Pihak keluarga besar akan menjadi perbincangan seluruh warga kampung jika memiliki menantu dengan tubuh penuh tato. Kalau tato itu hanya di punggung atau tangan yang tertutup mungkin masih bisa disembunyikan." Dia ingat Kak Bukhori pernah berkata seperti itu dengan mimik wajah ngeri. Bagi orang yang tidak pernah melihat tubuh penuh tato pasti akan ngeri.
Keluarga Kiai Muslih di desa terkenal rendah hati. Mereka juga suka menolong warga yang kesusahan dan selalu bisa menghargai perbedaan. Bahkan Abah pernah berkata sejelek apapun orang itu, dia adalah umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan hamba Allah SWT yang harus kita hormati. Kini Abahnya justru melupakan hal itu saat bertemu Tristan. Sementara hatinya masih terikat pada cinta Tristan, justru Abah menerima pinangan keluarga Imran.
Sebagai anak yang harus patuh pada orang tua, dia harus menyetujui rencana itu. Tidak ada perkara hak yang membuatnya harus menolak pinangan keluarga Imran. Semua yang disebutkan ibunya sudah ada pada Imran. Rasanya dia ingin menangis keras di depan ibunya seperti saat masih kecil dulu. Namun, sekarang dia telah dewasa. Tidak mungkin akan melakukan hal-hal seperti itu lagi.
Tiba-tiba dia rindu masakan ibunya. Dia juga sudah rindu salat bersama dan semaan Al-Quran bersama. Terakhir dia melakukannya sebelum berangkat ke Jakarta, itu sudah lama.
"Aya rindu semaan Al-Qur'an bersama ibu." Nyai Mufarikah tersenyum lebar. Dia begitu sayang pada anaknya ini. Meskipun menurut anaknya yang lain, Aya telah keluar jalur dari kebiasaan keluarga, tetapi nyatanya ajaran agama tidak pernah hilang dari hatinya.
Hari itu keduanya melakukan semaan Al-Qur'an. Setelah melantunkan kalam Allah, hati gadis berkulit sawo matang itu lebih tenang. Itu cara healing yang biasa dilakukan anak ketiga Kiai Muslih ini jika hatinya sedih. Dia pasrah dengan takdir yang telah tertulis di lauhul mahfuz. Dia harus belajar ikhlas menerima kenyataan jika Tristan bersama perempuan lain.
Setelah memandikan ibunya yang sakit, Aya ditemani Amalia dan dua santriwati pergi ke ladang. Mereka ingin menyusul Kak Hakim memanen hasil kebun sekalian bernostalgia di sana. Jika dia tidak salah ingat, keluarganya memiliki tanaman kelapa yang lumayan banyak, pohon kapok randu, dan juga jambu mete di ladang. Tanaman komoditas khas daerah Blora.
"Kelapa kita masih banyak, Lia?" tanya Aya saat memasuki area ladang milik warga desa. Mulut remaja itu cemberut.
"Banyak yang mati, Mbak."
"Kenapa?"
"Diserang hama wangwung."
"Kak Hakim pasti sedih melihat tanaman kelapanya banyak yang mati." Amalia mengangguk. Hakimlah yang bertugas mengurus ladang keluarga selama ini.
Mereka terus melewati jalanan yang di tumbuhi semak belukar di kanan kiri. Beberapa menit kemudian, empat gadis itu sudah sampai di ladang. Merasa tidak melihat satu orang pun, Amalia berteriak memanggil nama kakak keduanya itu.
"Kak Hakim ...!"
Setelah Amalia berteriak-teriak, terdengar balasan suara. "Aku di sini, Lia!"
Wajah cantik dan manis Amalia berseri-seri. Dia mengajak Aya dan dua santriwati segera menuju suara Hakim yang berada di balik rerimbunan pohon jambu mete yang sedang berbunga lebat. Aya paling suka dengan oseng jambu mete buatan ibunya, tetapi sayang sekali, pohon jambu mete di ladangnya baru berbunga.
"Kalian menyusul. Aya, kamu juga ikut?" Wajah Kak Hakim yang penuh keringat tersenyum melihat adik perempuannya itu ikut ke ladang.
"Kak Hakim sendirian?" Mata Aya beredar mengelilingi perkebunan yang penuh pohon kelapa, pohon kapok randu dan jambu mete. Jumlah pohon kelapa keluarganya memang tidak sebanyak dulu. Benar kata adiknya. Pohon-pohon kelapanya banyak yang mati. Bahkan sepanjang jalan menuju ladang banyak pohon kelapa milik tetangganya yang juga mati.
"Ada tiga santri yang ikut. Mereka sedang menikmati pucuk pohon kelapa muda yang Kakak tebang di sana. Akhir-akhir ini kelapa kita banyak yang mati terkena hama wangwung, Ay."
Mata indah bercelak milik Aya Latifa melebar. Dia seperti mendapat rezeki nomplok sewaktu mendengar pucuk pohon kelapa muda. Gadis itu bisa membayangkan manisnya makanan alami itu. Tanpa menghiraukan yang lain, dia berlari mencari tiga santri yang disebutkan Hakim.
"Mbak Aya, tunggu! Siti, Nur, ayo ikut!" Amalia berlari menyusul Aya yang telah menghilang di antara semak. Aya Latifa memang terbiasa tinggal di kota, tetapi dia tetap gadis dari desa yang terbiasa dengan alamnya. Gerakannya cepat saat berlari dan menyelinap di antara semak belukar dan pematang.
"Gadis-gadis ini," gumam Hakim menggeleng-gelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirath Cinta (End)
RomancePerjalanan cinta seorang putri Kyai desa yang menjadi desainer gaun pengantin. Dalam hati dia sangat mencintai Tristan tetapi orang tuanya tidak memberi restu. Bagaimanakah kisah keduanya? Bisakah hati seorang Aya Latifa menerima pinangan Imran?