Bab 24. Tiga Pemuda satu Cinta

4 0 0
                                    

"Sekarang kamu pulang." Tristan menuding jalan pada Nina. Gadis itu mendekat. Tristan sudah dipastikan tidak akan memaafkan dirinya karena dia adalah keponakan Subandri. Orang yang telah mengkhianati perjanjian kerja dengannya. Juga, telah membuatnya tidak berdaya, bahkan telah menembak Aya.

"Tan, tolong maafin Om aku." Suara Nina terdengar lirih. Mendengar nama penjahat itu disebut, Tristan membuang muka. Hatinya geram. Enak sekali dia memintakan maaf kesalahan Omnya setelah semua yang dilakukan.

"Dia nggak pantas dimaafkan. Dia udah bikin Aya sakit!" bentak Tristan emosi. Imran dan Devan terkejut mendengar kemarahan itu. Seorang perempuan setengah tua keluar mendengar bentakan Tristan.

"Sekarang ini Om aku udah dipenjara. Dia juga sempat dihakimi warga karena insiden itu. Apakah dia tidak boleh dimaafkan?" pungkas Nina. Tristan tersenyum, sinis.

"Bagus. Akhirnya dia menuai apa yang dia tanam. Kalau udah selesai kasih informasinya, silakan pulang. Ajak juga dia." Nina menatap Tristan yang masih membuang muka. Dia sangat kenal wataknya. Pendirian bos Natcake itu tidak bisa diubah jika sudah memutuskan sesuatu. Dia mengajak Ken pergi dari rumah itu dengan hati kecewa.

Sepeninggal Nina dan Ken, tubuh Tristan terhuyung dan hampir roboh kalau tidak dipegangi Imran dan Devan. Dua pemuda itu membawanya masuk kamar.

"Kamu sendiri kurang sehat, seharusnya tidak marah-marah seperti tadi. Coba istighfar," saran Imran. Devan mengambil air yang dibawakan asisten almarhum nenek Tristan.

"Kasihan Mas Tristan. Apa perlu saya telepon Mbak Norberta, Mas?" tanya wanita itu. Tristan melarangnya dengan melambaikan tangan karena mulutnya penuh air minum dari tangan Devan.

"Aku rasa dengan meminum obat dari dokter yang ada di rumah sakit, aku akan cepat sembuh. Bibi Sumiarsih jangan meneleponnya." Bibi Sumiarsih mengangguk.

"Kalian pasti lapar biar bibi masakan." Bi Sumiarsih keluar kamar untuk memasakkan tiga pemuda itu.

"Gimana kondisi Aya?" Devan bertanya pada Tristan dan Imran.

"Alhamdulillah, saat kami pulang peluru yang ada di tubuhnya telah dikeluarkan. Semoga dia cepat sadar," jawab Imran tenang. Imran melihat foto Aya ada di atas nakas. Gadis itu membawa piala penghargaan dan buket bunga di atas panggung fashion show. Tampak cantik dan smart.

Imran merasakan kecemburuan karena foto tunangannya ada di kamar pria lain. Tristan sempat melihat Imran yang bolak-balik melihat foto Aya di nakas. Foto itu segera ditutup. Devan yang juga diam-diam sayang pada Aya merasakan apa yang dirasakan Imran. Cemburu.

"Ini moment terbaik yang pernah aku ikuti bersama Aya waktu itu. Dia mendapatkan penghargaan sebagai desainer gaun pengantin muslimah terbaik." Tristan mengalihkan perhatian Imran dan Devan dengan menceritakan kejadian dalam foto.

"Oh, Aya memang desainer gaun muslimah berbakat. Aku salut atas kemampuannya," puji Devan.

Tristan bisa menilai kalau Devan pun menaruh hati pada Aya dan saat ini tengah pedekate padanya. Devan belum tahu kalau Imran calon suami gadis itu. Imran menatap Devan lalu Tristan. Saingannya dua pemuda yang memiliki potensi luar biasa di bidangnya. Sungguh berat. Jika Aya dihadapkan pada mereka bertiga, kira-kira siapa yang akan dipilih untuk menjadi imamnya?

"Aku justru tidak tahu apa-apa tentang Ning Aya Latifa," gumam Imran berdiri dari tepi tempat tidur Tristan untuk menuju rak kecil yang berisi buku-buku bacaan. Tangan Imran memeriksa judul buku yang berderet rapi. Karakter seseorang bisa dilihat dengan banyak cara, salah satunya lewat buku yang dibaca.

"Mas Tristan suka baca buku-buku agama, ya." Imran mengambil satu buku dan membukanya. "Koleksi bukunya bagus-bagus."

"Itu hadiah dari Aya supaya aku mempelajari dan mendapat hikmah dari buku-buku yang aku baca, pun agar si penulis dapat pahala jika kita baca dan amalkan. Kalau aku sendiri sih lebih condong ke buku-buku barat dan juga musik-musik barat, sih." Tristan tertawa saat ingat peristiwa itu. Saat Aya tiba-tiba datang ke rumah ini sambil membawa banyak buku agama dalam kardus.

"Kamu alih profesi jualan buku, Ay?" tanya Tristan saat itu.

"Ini buku untuk kamu. Baca semua dan aku tunggu satu bulan untuk praktiknya."

"Mak-maksud kamu apa? Praktik? Ini ...." Tristan kaget.  Dia membuka buku-buku dari dalam kardus. Ada buku tuntunan salat lengkap, ada buku tentang thoharah atau buku yang mempelajari tentang tata cara bersuci, ada juz amma juga. Bahkan masih banyak lagi buku-buku agama yang bisa meng-upgrade dirinya untuk menjadi lebih baik lagi.

"Ini ... tulisan Arab. Gimana bacanya? Aku ... nggak pernah ngaji ...." Tristan sangat malu saat itu. Aya hanya mengulum senyum.

"Kamu ajarin aku, ya." Kedua alis tebal Tristan naik turun. Aya melotot. 

"Ogah. Bukan aku yang akan ngajarin kamu ngaji. Itu tuh, lihat. Ustaz itu yang akan ngajarin ngaji kamu setiap hari." Aisyah yang sejak tadi berdiri di samping mobil membukakan pintu untuk seseorang. Keluarlah ustaz yang dimaksud Aya.

Tristan tersenyum saat mengingat peristiwa itu. Dia yang berusia dua puluh tujuh tahun harus belajar ngaji pada ustaz yang usianya tujuh belas tahun. Aya membawakan guru ngaji yang usianya di bawahnya jauh. Ya, Tristan memang sedikit tersinggung. Namun, kata Aya biar dia sungguh-sungguh belajar.

"Sama dia?"

"Hmm."

"Malu aku, Ay. Nggak ada ustaz yang lebih tua apa? Dia masih sekolah, kan?"

"Nggak ada. Udah belajar sono. Aku tunggu ujian praktiknya sebulan lagi. Kamu harus udah bisa baca juz amma, salat, dan berwudu yang benar."

"Yah, sadis bener. Masak sebulan harus bisa semuanya."

"Itu mudah. Anak kecil di kampung aku aja udah bisa semuanya. Lagian aku nggak nyuruh kamu fasih baca Al Qur'an, kan."

"Kejam kamu, Ay."

"Masak kalah sama anak usia belasan tahun," sindir Aya waktu itu.

Tristan menarik napas panjang. "Aku merindukan Aya yang selalu memarahiku karena malas belajar. Sekarang dia terbaring pingsan ... dia yang selalu menjadi jalan kebaikan untukku, tapi aku justru yang menjadi jalan kesusahan untuknya." Tristan menjambak rambutnya dengan gemas. Imran dan Devan pun larut dalam pikiran masing-masing tentang Aya. Imran ingin Aya segera sadar dan cepat mengenalnya. Devan ingin Aya juga cepat sadar dan pulih agar bisa bersama lagi dalam kegiatan Ayagown Berbagi.

"Mas Tristan, makanannya udah jadi. Mau saya bawakan ke sini atau makan di meja makan?" tawar Bi Sumiarsih yang berdiri di ambang pintu.

"Biar Tristan makan di sini dan kami makan di meja makan aja, Bi." Imran menjawab. Dia salut dengan Bi Sumiarsih. Sudah selarut ini masih berbaik hati memasakkan mereka.

Keduanya keluar kamar menuju ruang makan. Bi Sumiarsih telah memasakkan gudangan, yang hampir mirip dengan urap. Hidangan yang terdiri dari berbagai macam sayuran ini mirip dengan urap karena menggunakan parutan kelapa sebagai pendamping sayuran. Perbedaannya dengan urap berada di sayuran yang digunakan dan cara pengolahan sambal gudangan ataupun parutan kelapa. Perut mereka pun dihangatkan dengan perpaduan kuah saringan jahe, gula merah, kayu manis, daun pandan dan lainnya dari wedang tahu yang hangat. Semua makanan itu khas Semarang yang lezat.

Handphone Imran berbunyi. Dia segera mengangkatnya. Devan yang tengah menyendok makanannya ikut tertarik mendengar Imran menerima telepon. Padahal jam dinding di rumah nenek Tristan sudah menunjukkan pukul 01. 25. Merasa tertarik, dia mengurungkan makan.

"Assalamualaikum, Kak. Inalillahi ." Imran tampak terpukul mendengar berita dari Hakim yang ada di rumah sakit.

" Aya kenapa?" Devan ikut cemas melihat ekspresi Imran seusai menerima telepon.

Shirath Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang