Tanpa mengeluarkan suara, gadis itu menyaksikan Tristan salat sejak rakaat kedua. Awalnya dia mengira, pria yang sedang beribadah itu orang lain. Setelah mengenal tato-tato yang memenuhi lengannya, dia baru sadar, pria tinggi itu Tristan. Dia mencari tas dan handphone miliknya. Tas hitam itu ada di atas nakas di belakang tubuh Tristan yang sedang salat. Diambilnya benda pipih itu dari dalam tas. Diam-diam dia mengambil foto dirinya dan Tristan. Gadis itu ingin mengabadikan moment Tristan satu kamar di hotel bersamanya.
Setelah berdoa Tristan menoleh. Senyumnya mengembang. Dengan tetap duduk di atas sajadah dia menjawab rasa penasaran Nina. "Sejak beberapa tahun yang lalu."
Nina bangun dengan menekan kepalanya yang pening. Matanya mengenali ruangan dengan desain seperti itu. Light Hotel. Hotel bintang lima milik ayah Tristan. Bibirnya yang masih memakai lipstik matte warna nude tertarik indah. Otaknya yang masih dalam pengaruh alkohol mulai berekspektasi indah tentang Tristan.
Dia memeluk bantal dengan gemas. Sepasang matanya berbinar-binar saat melihat mantan pacarnya itu bangun dan melipat sajadah kemudian meletakkannya di atas nakas. Tristan duduk di hadapannya.
"Basuh wajahmu supaya segar. Setelah itu tidurlah. Ini masih malam." Tristan hendak keluar kamar. Dia bermaksud tidur di lobi hotel.
"Kamu mau kemana?Tolong jangan keluar, Tristan." Pemuda itu berhenti dengan jantung berdebar.
"Aku ... aku membutuhkanmu." Gadis itu berkata dengan wajah bersemu merah. Jika Tristan kembali padanya dan menikahinya, maka kelak hotel ini akan menjadi miliknya.
Tristan membalikkan badan. Nina langsung melompat untuk memeluk tubuh pemuda yang telah hijrah itu dengan tanpa malu. Merasa masih punya wudu, Tristan melompat mundur.
"Ma-maaf, Nina. Aku masih punya wudu," kata Tristan menolak halus. "Selain itu rasanya nggak pas aja berpakaian begini harus ... malu sama Allah." Nina hanya bisa berdiri bengong di tempatnya dengan pandangan tidak mengerti. Bagi Nina, kata-kata Tristan sudah seperti ustaz yang biasanya ceramah di televisi saat bulan ramadan.
"Istirahatlah. Besuk aku akan mengantar kamu ke bar untuk mengambil mobilmu." Tristan tetap keluar kamar walaupun gadis itu berteriak-teriak melarang. Dia tadi sudah meminta izin pada pegawai hotel untuk tidur di lobi. Toh sudah malam dan hotel sepi dan tidak ada yang mengenalinya sebagai putra pemilik hotel itu.
Dia memeriksa pesan masuk. Berharap ada pesan Aya di sana. Ternyata zonk! Justru pesan dari Aditya, orang yang menjadi kepercayaannya di tempat kerjanya yang mengirim banyak pesan bahkan telepon. Selain rajin ibadah dia juga rajin bekerja. Bahkan dia membuat bisnis roti dan kue basah. Lumpia Semarang tetap menjadi salah satu ikon toko kuenya yang laris manis di antara roti dan kue yang lain.
Aya Latifa bagai titian atau sirat yang dikirim Allah untuk dirinya menuju ke jalan yang lebih baik. Dia hanyalah pemuda putus kuliah yang urakan dan tidak peduli dengan ibadahnya. Dia juga tidak peduli dengan orang tuanya yang terlalu menuntut banyak pada dirinya. Bahkan, dia sengaja putus kuliah dan keluar dari rumah setelah ayahnya mengusirnya.
Setiap hari dia sibuk nongkrong bersama teman-temannya. Berangkat pagi pulang malam. Tidurpun dia di rumah salah satu temannya. Saat itulah dia bertemu Nina di jalan, gadis itu sedang diganggu preman. Ternyata preman itu adalah teman Tristan. Sejak malam itu mereka berkenalan.
"Aya," gumam pemuda itu sambil melihat foto profil Aya Latifa berupa coretan desain dan pena. Dia membayangkan gadis yang suka memakai jilbab pashmina itu sedang mencoret kertas untuk membuat desain gaun pengantin seindah putri dongeng.
Tanpa sadar, Tristan tidur di lobi sambil memegang handphone. Sementara itu Nina yang sudah segar karena telah membasuh muka justru tidak bisa tidur. Gadis itu berkali-kali memejamkan mata tapi usahanya tidak berhasil. Pikirannya terus dibayangi Tristan yang tidur di luar.
Nina memutuskan keluar kamar untuk melihat Tristan. Jalannya masih belum stabil saat harus menyusuri lorong hotel. Gadis itu bertanya pada salah satu pegawai hotel tentang keberadaan pemuda bertato itu.
"Teman mbak ada di lobi." Pegawai hotel menjawab.
"What? Lobi? Kamu serius dia ada di sana?" Nina tidak yakin dengan pendengarannya.
"Cowok memakai sarung hitam itu, kan, Mbak?" Pegawai hotel itu memastikan.
"Iya." Nina mengangguk.
"Kalau mbak nggak percaya, mari saya antar." Pegawai hotel itu tidak tega melihat Nina yang jalannya masih sempoyongan. Dia membawa gadis cantik itu menuju lobi hotel. Di kursi panjang lobi Tristan tampak tidur dengan nyaman.
"Tristan?" Nina tidak percaya dengan penglihatannya. Dia tahu Tristan itu siapa. Dia anak salah satu orang kaya di Semarang ini. Dengan kedudukannya sebagai putra pemilik hotel ini dia bisa menggunakan satu kamar hotel lagi untuk istirahat. Dia tidak perlu tidur meringkuk di sofa lobi.
Pegawai hotel bergegas melanjutkan pekerjaannya setelah mendapat "ucapan terima kasih" dari Nina. Gadis itu mendekati Tristan yang mengorok. Matanya menangkap handphone yang ada di tangan pemuda itu. Benda penting itu bisa raib jika bertemu orang tidak bertanggung jawab.
Dengan Hati-hati, tangan Nina melepaskan benda pipih itu dari genggaman pemiliknya. Tidur Tristan yang mengorok membuat Nina tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba muncul ide kurang baik di kepala gadis berambut sebahu itu. Dia ingin tahu isi gawai mantan pacarnya. Benda keluaran Jepang itu dinyalakan.
Pertama kali handphone itu dibuka yang terlihat foto profil Aya Latifa. Kening licin itu berkerut. Rupanya Tristan melihat foto profil Aya sampai ketiduran dan HP mati sendiri. Nina mulai meraba-raba sosok perempuan bernama Aya Latifa itu siapa. Foto profil Aya justru membuat Nina makin tertarik.
Gadis itu melihat isi chat Tristan dengan Aya. Darah gadis berbaju warna army itu berdesir hangat. Jari-jarinya gemetar. Napasnya memburu. Api cemburu langsung membakar dirinya detik itu juga.
"Jadi Aya Latifa ini cewek kamu?" Nina melirik Tristan yang masih tidur nyenyak di sofa. Secepatnya dia menuliskan nomor handphone Aya ke handphone-nya setelah itu menyembunyikan benda penting itu ke samping tubuh Tristan dengan aman.
Nina kembali ke dalam kamar dengan tidak sabar. Secepatnya dia harus tahu tentang perempuan bernama Aya Latifa. Pantas selama dia kuliah di Prancis nomor Tristan susah dihubungi. Ternyata di sini dia sudah punya penggantinya.
"Aya Latifa. Siapa cewek ini?" Nina mulai berselancar di dunia maya lewat handphone-nya. Mencari tahu sosok perempuan yang menjadi pacar Tristan. Satu informasi penting membuat wajah Nina yang semula mengantuk langsung bersinar.
"Jadi kamu seorang desainer, ya." Jemari lentik bercat kuku hijau itu terus membuka foto-foto tentang Aya Latifa.
"Semuanya berisi gaun pengantin dan foto kliennya saat mencoba gaunnya. Uh! Mana fotomu, Aya Latifa?" Nina mulai kesal karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Gadis yang memiliki keinginan keras itu tidak menyerah. Dia terus mencari hingga akhirnya mendapatkan satu foto gadis berjilbab pashmina tengah menerima penghargaan.
"Kena kau, Aya Latifa." Wajah Nina langsung senang bukan main, akhirnya foto perempuan yang dicintai Tristan dia dapatkan.
"Lumayan cantik," gumamnya menilai perempuan yang ada di dalam foto.
"Aya Latifa, seorang desainer gaun pengantin yang ada di kota Semarang ini. Nama butiknya Ayagown. Bagus. Aku bisa nyamperin dia kapan-kapan. Tunggu aku, Sayang," gumamnya bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirath Cinta (End)
RomancePerjalanan cinta seorang putri Kyai desa yang menjadi desainer gaun pengantin. Dalam hati dia sangat mencintai Tristan tetapi orang tuanya tidak memberi restu. Bagaimanakah kisah keduanya? Bisakah hati seorang Aya Latifa menerima pinangan Imran?