Tristan membuka kancing jas hitamnya hingga baju dalamnya yang juga berwarna hitam mencetak dadanya yang bidang berotot. Tato tumbuhan yang menghiasi leher bawahnya terlihat sebagian. Saat lengannya di tarik ke atas. Tato-tato aneka bentuk pun menghiasi lengannya.
Pemuda yang baru saja memotong rambutnya itu membuka pintu mobil dengan remote mobil. Kaki tingginya yang bercelana krem dan bersepatu putih melangkah masuk. Tidak lama kemudian mobil itu meluncur ke jalan Ahmad Yani letak butik Ayagown berdiri. Dia harus meminta maaf pada Aya perihal Nina. Dia tahu sekarang gadis itu kurang peduli padanya karena telah dijodohkan dengan pemuda lain.
Mobil itu berhenti tepat di depan butik Ayagown setelah lima belas menit perjalanan . Security yang masih muda berlari kecil menyambut kedatangannya. Dia hafal pemilik mobil hitam itu. Tristan. Kekasih bosnya.
"Selamat pagi, Mas." Security itu menyapa Tristan yang baru keluar dari dalam mobil.
"Pagi, Pak."
Tristan menatap pintu masuk butik. Pintu kaca itu tertulis kata "closed". Kening pemuda tampan itu berkerut. Tidak biasanya butik itu tutup di hari sibuk seperti ini.
"Pak, kok tutup?" Telunjuk bercincin perak itu menunjuk pintu butik. Security mengikuti arah yang ditunjuk. Dia tersenyum maklum.
"Oh ... itu. Mas Tristan lupa, ya, kalau sekarang hari Jumat?"
"Jumat?" Wajah tampan Tristan tampak tidak mengerti. Security menjelaskan kalau sekarang semua pegawai sedang berkumpul di rumah owner dalam acara Ayagown Berbagi. Mereka membagi-bagikan makanan kepada para kaum duafa setiap hari jumat.
"Kenapa aku jadi pelupa gini, sih? Oke. Makasih, ya, Pak." Tristan merasa malu sekali didepan penjaga butik Aya. Dia menepuk bahu security lalu masuk kembali ke dalam mobil. Sepanjang jalan dia merutuki dirinya sendiri. Acara itu jelas dia tahu karena dulu sering membantu Aya dalam kegiatan berbagi. Baru renggang sedikit dengan gadis itu saja dia sudah oling seperti layang-layang putus. Bagaimana jika benar-benar mereka terpisah.
"Ya Allah, tolong dekatkan dia selalu denganku. Aku tidak bisa menjalani hidupku dengan baik tanpa kehadiran Aya Latifa," gumamnya memohon kepada Sang Pengabul doa.
Handphone berbunyi. Nama Nina Suwandi tertulis di layar.
"Dia lagi."
Tristan tidak mengangkat benda pipih yang berbunyi itu. Dia tidak seharusnya memberi ruang pada Nina untuk bergerak mendekatinya. Ini murni kesalahannya. Seharusnya dia bisa menahan diri untuk tidak terbawa cemburu karena pinangan Imran pada Aya sehingga dengan bodohnya membuat keputusan itu. Mengajak Nina balikan sama dengan membiarkan dirinya tertarik ke dunia gelap kembali.
***
Rumah Aya hari itu ramai didatangi para kaum duafa. Mereka berkumpul di halaman rumah bergaya minimalis. Satu persatu pegawai Ayagown membagikan kotak makanan pada mereka. Devan yang ikut membantu acara Aya dan pegawainya tidak hentinya tersenyum. Dia sangat kagum pada kebaikan hati gadis yang baru kemarin dia kenal itu.
"Dev, makasih udah bantu kami hari ini," ucap Aya menghampiri pemuda berkaca mata itu setelah acara selesai.
"Ah, jangan sungkan. Mulai hari ini kau bisa mengandalkan aku, Ay." Devan menaikan alis kanannya sambil mengangkat kerah bajunya. Aya tersenyum lebar. Tanpa canggung, dia memukul lengan Devan sembari tertawa kecil. Diam-diam Devan menikmati cara tertawa gadis di depannya ini. Hatinya menghangat mendengar tawa renyah itu.
Merasa capek Aya mengambil tempat duduk di dekat kolam kecil dekat garasi. Devan mengikutinya. Aisyah dan teman-temannya sibuk merapikan halaman rumah dari bekas acara.
"Awalnya aku ragu bikin acara seperti ini."
"Kenapa?"
"Takut nggak bisa istikamah aja."
"Ini acara bagus. Aku yakin kalian bisa istikamah. Malah aku nggak habis pikir. Gadis sepertimu yang setiap hari sibuk bikin gambar baju untuk klien justru masih mikirin orang susah," tukas Devan kagum pada Aya.
"Justru kita nggak boleh terlena sama pekerjaan. Sesekali tengoklah orang-orang di sekitar kita. Siapa tahu ada yang membutuhkan kita. Ya, anggap aja deposito amal. Jangan deposito uang mulu," terang Aya. Devan seperti disindir. Selama ini dia kerja keras banting tulang demi uang. Terkadang dia melupakan kewajibannya kepada Sang Khalik. Bersama Aya, dia merasa sangat buruk.
"Ay," ujar Devan hati-hati.
"Hm." Gadis itu hanya mendehem ringan. Matanya sibuk mengawasi pegawai dan asisten rumah tangganya yang membersihkan sisa acara.
"Boleh aku meminta sesuatu darimu?" tanya Devan.
"Apa itu? Kalau sesuatu yang nggak baik aku ogah ngabulinnya." Devan terkekeh geli karena merasa kata-kata Aya sangat lucu.
"Malah ketawa. Aku serius. Di Ayagown aku udah pusing ngadepin klien jadi jangan nambahin lagi," tandas Aya tegas.
Devan tertawa. "Oke. Aku nggak nambahin kerjaan kamu. Justru aku ingin ngringanin kerjaan kamu. Tolong masukin aku ke dalam tim ini. Agar aku juga bisa ...."
"Nggak boleh!"
"Kok gitu? Kenapa?"
"Timku udah banyak."
"Ay, tolonglah. Aku juga pengen terlibat ke dalam acara yang berpahala ini," rengek Devan seperti anak kecil. Aya mengulum senyum melihat tingkah Devan. Orang satu ini selalu bisa membuatnya melupakan masalah, meski sejenak.
"Kamu nggak pantas jadi tim kasaran. Pantesnya kamu jadi donatur di acaraku. Supaya kita bisa bantu lebih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan."
Sepasang mata di balik lensa minus itu berbinar. Hatinya lega."Serius, nih?"
Aya mengangguk. "Justru aku yang tanya. Serius nggak jadi donatur?"
"Apa sih yang nggak buat kamu, Ay. Maksudku buat mereka." Devan meralat bicaranya yang suka nyerocos tanpa edit. Keduanya tertawa karena lucu. Devan makin kagum pada gadis di sampingnya. Pembawaan gadis bermata indah dengan bingkai celak itu halus dan tenang. Gaya bicaranya membuat Devan betah berlama-lama di sampingnya.
Tanpa mereka tahu, pemuda dengan leher bertato yang ada di dalam mobil menyaksikan keakraban mereka. Sorot mata itu redup, seperti putus asa.
"Apakah dia Imran?" tanyanya pada diri sendiri. Netranya tidak lepas dari sosok Devan yang gagah dan berkacamata.
Mobil melaju meninggalkan depan rumah Aya. Awalnya dia ingin membantu Aya seperti biasanya. Niat itu menguap begitu saja saat dia melihat Aya tengah bercanda dengan Devan. Mereka tampak akrab dan hangat. Belum pernah Tristan melihat Aya tertawa lepas di depan laki-laki, kecuali saat dia bersama Hakim, saudaranya. Jadi wajar jika Tristan menyangka Devan sebagai Imran, calon suami Aya. Dia mulai merasakan panasnya api cemburu.
"Mulai Jumat depan aku harus gimana?" Devan mulai bingung dengan tugasnya sebagai donatur baru.
"Coba bicara sama Aisyah. Dia yang handle segala keperluan untuk acara Jumat Berkah," saran Aya meninggalkan Devan karena tiba-tiba handphone berbunyi. Tristan.
"Assalamualaikum, Tan. Ada apa?"
Devan melihat Aya menerima telepon lalu masuk rumah. Devan menangkap wajah gadis yang tadi gembira kini berubah murung. Mungkin ada klien yang komplain, pikirnya kemudian berlalu meninggalkan kursi yang tadi didudukinya bersama tuan rumah. Dia harus berbicara dengan Aisyah mengenai donatur yang dia sepakati bersama Aya.
"Maaf, Ay. Aku nggak bisa bantu kamu kali ini," ucap Tristan dari dalam telepon. Sekuat tenaga dia menahan diri dari rasa tidak nyaman melihat Aya bersama Devan.
"Oh, nggak papa. It's oke. Aku tahu kamu pasti sibuk banget dengan kerjaan kamu."
"Thanks, Ay. Kamu selalu ngertiin aku."
"Tristan, kamu ... baik-baik aja, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirath Cinta (End)
RomancePerjalanan cinta seorang putri Kyai desa yang menjadi desainer gaun pengantin. Dalam hati dia sangat mencintai Tristan tetapi orang tuanya tidak memberi restu. Bagaimanakah kisah keduanya? Bisakah hati seorang Aya Latifa menerima pinangan Imran?