Gadis berjilbab pashmina merah itu menuruni becak kemudian berlari masuk stasiun kereta api. Napasnya tersengal memburu waktu. Dia tahu, saat ini kereta api yang akan dinaiki telah siap berangkat. Seharusnya dia tiba di tempat itu setengah jam yang lalu. Akan tetapi, ada sedikit halangan yang membuatnya harus menunda keberangkatan.
Tidak disangka, Tristan kembali menghubunginya dan mengancam mengunjunginya di tempat kost jika tidak diangkat teleponnya. Perasaan yang lama susah payah dijinakkan justru liar kembali saat mendengar pemuda bertato itu di gawainya. Rasa cinta yang tidak mendapat restu dari Abah telah membuatnya jatuh sakit saat itu. Orang tuanya yang ada di kampung tidak tahu penderitaan cinta yang dialami putrinya di kota.
Pemilik mata indah itu terus berlari menyibak lalu lalang calon penumpang. Bibir merah alaminya tertarik ke samping. Hatinya lega karena belum terlambat. Dia melompat masuk kereta yang sudah bersiap berangkat. Dorongan kekuatan pundak lelaki berjaket cokelat dari sampingnya membuat tubuh gadis bergamis hitam itu terhuyung menjauhi pintu kereta. Tak ayal, dia jatuh tersungkur.
"Astaghfirullah!" Gadis itu berteriak. Dia meringis kesakitan. Pinggul dan tangannya terasa ngilu. Saat akan bangun, sebuah tangan terulur ke arahnya.
"Maaf telah membuatmu jatuh. Ayo, kita harus cepat masuk sebelum kereta berangkat!" Pemuda yang menabraknya ternyata telah mengulurkan pertolongan padanya. Mata mereka bertemu. Gadis berwajah oval itu mengalihkan pandangan. Lengan memakai jam keluaran terbaru itu masih tetap terulur di depan wajah si gadis.
Gadis itu bangun tanpa tertarik dengan uluran tangan itu. Dengan menahan sakit di pinggul, dia naik ke kereta. Dari mulutnya terdengar kalimat thoyibah mengiringi langkahnya yang terseok-seok. Di belakangnya pemuda berjaket dan berkacamata itu menurunkan tangannya yang terulur. Dia mengedikkan pundaknya dengan ekspresi wajah tidak mengerti.
"Gadis aneh. Udah ditolongin malah nolak,"gumam pemuda itu tidak mengerti.
Gadis yang memakai tas punggung berisi penuh itu menuju kursi. Saat duduk, kembali dia meringis. Pinggulnya terasa ngilu. Dorongan tadi demikian kuat hingga membentur lantai dengan keras. Memang orang itu meminta maaf dan mengulurkan tangan untuk menolong. Namun, dia malas menanggapinya. Sampai detik ini, dia tetap menjaga diri dari berjabat tangan dengan lawan jenis. Meskipun dengan Tristan, kekasihnya. Itulah alasan utama dia menolak uluran tangan itu.
"Eh, ternyata kita dapat kursi bersebelahan, ya." Si pemuda yang membuatnya jatuh tiba-tiba telah duduk di sampingnya. Matanya memindai tubuh gadis itu. Merasa diperhatikan secara tidak sopan, gadis bercelak mata itu melotot galak.
"Apa lihat-lihat? Udah bikin orang jatuh masih nggak sopan." Gadis itu menggerutu dan memalingkan muka ke arah jendela kereta. Di luar, langit tampak cerah. Dalam beberapa hari ini hujan memang belum turun. Jadi pantas kalau cuaca di luar sana panas.
"Aku udah minta maaf, kan. Belum cukup?" Pemuda itu mengerutkan alis tebalnya. Dia duduk agak condong ke tubuh si gadis.
"Kenalin, aku Devan." Tangan pemuda bernama Devan itu terulur, mengajak salaman. Merasa gadis yang diajak kenalan cuek maka dia menarik kembali tangannya.
"Maaf jika membuat Mbak nggak nyaman dengan perlakuanku tadi. Aku nggak bermaksud apa-apa. Swear, deh!" Devan mengacungkan dua jari di depan dadanya pertanda dia bersungguh-sungguh dalam ucapannya.
Melihat kesungguhan Devan, gadis itu akhirnya menanggapinya. Sekedar menanggapi karena setelah itu dia fokus pada pemandangan di luar.
"Namaku Aya Latifa."
Devan tersenyum. "Suara mbak merdu, ya. Pasti saat mengaji indah banget. Oh, maaf. Saya murni memuji kok. Nggak bermaksud merayu," ujarnya meralat kata-katanya, takut jika Aya Latifa tersinggung kembali. Setahunya, gadis cantik memang gampang tersinggung.
Aya Latifa bergeming. Dia sudah tidak tertarik dengan segala pujian dari mulut lelaki. Dia tidak ingin terperosok ke dalam jurang perasaan yang salah lagi. Berpacaran. Jelas itu dilarang di dalam keluarganya yang merupakan keluarga memegang teguh syariat agama.
Di kampungnya, siapa yang tidak kenal nama Kiai Muslih, Abahnya. Seorang tokoh agama yang disegani di kampung kecil dekat bantaran Bengawan Solo itu. Bahkan pengaruh namanya sampai ke luar kecamatan karena terbiasa diundang untuk berceramah di kampung-kampung dalam acara keagamaan.
"Mbak ini masih kuliah?" Devan bertanya.
Aya Latifa menghela napas berat merasa tersedot dari masa lalu menyakitkan yang baru saja dihadirkan oleh ingatan pangkat duanya. Ujung matanya melirik Devan, seperti menilai sosok di sampingnya. Orang itu tampaknya baik meskipun awalnya menyebalkan.
"Saya sudah bekerja, Mas," jawabnya.
"Aku pikir masih anak kuliahan. Abis masih imut, sih," kelakar Devan menciptakan rona merah di kedua pipi Aya Latifa. Keadaan cepat tersipu malu merupakan salah satu dari banyak kelemahannya yang ingin dibuangnya jauh ke Bengawan Solo.
"Bagaimana mas bisa menyamakan saya dengan anak kuliahan? Saya sudah empat tahun lalu lulus kuliah."
"Oh, maaf. Sepertinya dari tadi dialog saya cuma meminta maaf, ya." Devan terkekeh geli mengingat kebodohannya. Mengingat kelakuan Devan yang hobi meminta maaf, Aya Latifa pun ikut tersenyum.
"Jika saya boleh tahu, Mbak Aya ini kerja di mana?"
Aya merasa lelaki asing yang baru berjumpa dengannya beberapa menit ini terlalu cerewet dan sok ingin tahu urusan dirinya.
"Sebuah butik," jawabnya malas. Dengan tidak percaya pemuda berjam tangan warna hitam itu mengawasi Aya.
"Mbak seorang desainer?"
"Ya." Aya mengangguk. "Emang kenapa?"
"Aku pikir Mbak Aya ini seorang guru ngaji atau guru di Madrasah. Abis ... penampilan mbak cocok jadi ustadzah daripada jadi seorang desainer pakaian."
Tidak hanya Devan yang memiliki penilaian seperti itu. Bahkan hampir semua pelanggannya pun berpendapat yang sama. Dia memang berbeda dengan para saudaranya. Jika semuanya sibuk mendalami agama di pesantren favorit mereka, Aya justru sibuk menekuni dunia potong kain dan merangkainya menjadi gaun pengantin yang indah.
Dia harus berjuang meyakinkan keluarga besarnya untuk mengizinkan dirinya menekuni keinginannya. Menjadi desainer gaun pengantin. Cita-cita itu muncul saat dia mengunjungi salah satu teman yang anak orang penjual kain. Melihat kain-kain yang indah ter-display rapi, memunculkan sebuah keinginan untuk menciptakan gaun.
"Emang desainer baju pengantin nggak boleh berpakaian seperti ini, ya, Mas," celetuk Aya. Jika dulu dia akan tersinggung dengan candaan seperti ini, tetapi sekarang sudah terbiasa. Lagi pula ini adalah komitmen darinya untuk keluarga besarnya di kampung. Tetap berpakaian syar'i untuk menjaga harga dirinya sebagai seorang Ning dan martabat wanita muslimah.
"Yaa ... boleh, sih. Bagus malah." Devan tidak mempunyai argumen lain selain setuju.
"Maaf, Mbak. Aarrgg! Kenapa sih aku selalu bilang maaf? Tolong mbak sementara waktu jangan mengganggu saya,ya. Saya mau tidur. Mata ini terasa berat karena semalaman begadang."
Ingin rasanya Aya menuruti hati dan menimpuk wajah tampan Devan pakai sepatu kets. Bukankah sejak tadi dia yang mengganggu dirinya dengan melontarkan banyak pertanyaan? Bisa-bisanya sekarang melarang dia mengganggu karena ingin tidur. Ya Allah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirath Cinta (End)
Roman d'amourPerjalanan cinta seorang putri Kyai desa yang menjadi desainer gaun pengantin. Dalam hati dia sangat mencintai Tristan tetapi orang tuanya tidak memberi restu. Bagaimanakah kisah keduanya? Bisakah hati seorang Aya Latifa menerima pinangan Imran?