Bab 9. Hati Selembut Sponge Cake

1 0 0
                                    

Pagi itu cuaca terang. Cahaya matahari terasa hangat menerobos jendela kamar Nina yang terbuka. Cahaya matahari yang menyatu dengan penataan dan furniture kamar membuat suasana dalam kamar menjadi lebih indah dan penuh cahaya. Itulah keistimewaan Light Hotel. Jika ingin menikmati cahaya jingga, para tamu bisa memboking kamar VIP yang jendelanya menghadap ke matahari terbenam, begitupun sebaliknya. 

Seorang pemuda tinggi tegap berdiri  di balkon. Dari tirai tipis yang menjuntai di jendela kamar, terlihat dia seperti selesai menelpon seseorang. Di tempat tidur, Nina mengerjapkan mata saat melihat tirai jendela tebal tersibak, menyisakan tirai putih yang tipis. Tristan berdiri menghadap matahari terbit.

"Tristan. Dia di kamar ini?" bisiknya pada diri sendiri. " Jangan-jangan ..." Nina membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Pakaiannya masih lengkap.

"Astaga, Nina. Parno amat sih kamu. Bukannya itu yang kamu inginkan?" Dia berbisik lagi dengan wajah bersemu merah.

Tristan masuk. Handphone di tangannya dimasukkan ke dalam saku baju lengan panjang yang semalam. Pandangannya lurus ke wajah gadis yang menatapnya dengan senyum termanis yang dimiliki.

"Nina, aku ingin kita balikan." Tiba-tiba pemuda yang masih mengenakan sarung hitam itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

Nina terkejut dan hampir melompat kegirangan. "Really?"

Tristan mengangguk. "Aku ... ingin ... kita balikan." 

Kata-kata itu diucapkan Tristan dengan setengah hati. Dia kecewa dengan sikap Aya yang baru saja mengatakan dalam telepon bahwa dia ingin menjadi anak penurut. Dia juga mengatakan tidak ingin membuat sakit ibunya lebih parah.

Dengan masih tidak percaya Nina menyibak selimutnya lalu berlari menghampiri pemuda tampan putra pemilik Light Hotel ini. Dengan perasaan berbunga-bunga, gadis itu bermaksud menggenggam tangan pria gagah yang masih memakai sarung itu. Tristan menolak.

"Kamu serius?" Nina mendongak kecewa karena tangan Tristan diarahkan ke belakang punggung ketika akan diraih.

Tristan mengangguk. Nina masih tidak yakin dengan keputusan pemuda setinggi 175 cm itu. Dia mengenal Tristan sebagai manusia yang tidak plin plan.

"Apa yang membuatmu ngajak balikan lagi, Honey?" tanya Nina lagi lembut.

Alih-alih menjawab pertanyaan gadis berambut lurus itu, Tristan justru balik melempar pertanyaan. "Nggak mau?"

Nina salah tingkah. "Pasti mau dong, tapi ...."

"Tidak ada tapi. Mulai sekarang kita berpacaran lagi," ujar Tristan berkehendak.

Nina mengulum senyum. Ini yang diinginkan gadis langsing itu. Sekali Tristan mengajak berpacaran lagi, selamanya Nina tidak akan melepaskan pewaris Light Hotel ini. Bisnis orang tuanya telah bangkrut hingga akhirnya dia harus out dari kampusnya di Perancis. Namun, sampai detik ini tidak ada satu teman pun yang tahu bahwa orang tuanya bangkrut. Dia tidak ingin hidup melarat dan menjadi bahan gunjingan teman-temannya. Sekarang ada kesempatan baik bisa mengubah keadaan, tentu Nina harus memanfaatkan moment ini sebagus mungkin.

"Mobilmu udah ada di parkiran hotel. Joe yang nganterin ke sini. Pulanglah."

"Gila, ya, kamu, Honey. Kita baru aja jadian kamu udah usir aku?" Nina kesal dengan sikap Tristan yang dinilai tidak masuk akal. Dia melipat tangan sambil membuang muka. Tristan tidak peduli. Baginya, Nina hanya akan dijadikan pacar sementara sampai rasa kecewanya hilang.

"Orang tuamu pasti nyariin. Sebagai anak gadis yang baik tentu nggak akan bikin orang tua khawatir, dong. Jangan ke bar lagi. Aku ngerasa bule bernama Ken itu ada maksud tertentu nolongin kamu, Nin."

Nina menatap Tristan dengan haru. Meskipun tampang seperti preman ternyata hati Tristan selembut sponge cake. Tidak ada alasan bagi gadis itu untuk tidak menuruti perintah cowok idamannya itu. Tanpa mandi terlebih dahulu dia keluar kamar menuju parkiran hotel.

Tristan menghempaskan tubuhnya di kasur. Dia harus melakukan ini. Dia harus melupakan Aya Latifa secepatnya. Gadis itu telah mendapatkan pria terbaik versi orang tuanya. Lulusan Mesir. Kedalaman agamanya sudah pasti tidak diragukan lagi. Sedangkan dirinya hanya seorang preman yang ingin lebih mengenal Allah lagi.

Nina melangkah cepat menuju parkiran hotel. Dia tidak ingin bertemu dengan orang di hotel ini dalam keadaan belum mandi. Benar saja, di samping mobil hitam miliknya berdiri Joe sambil melipat lengan.

"Ini mobilmu dan ini kuncinya. Misi telah selesai, Nona. Aku permisi."

"Makasih, Joe." Joe melambaikan tangan.

Laki-laki yang bekerja sebagai bartender bar itu bergegas pergi setelah menyerahkan kunci mobil Nina. Gadis itu masuk mobil dan segera membawa kendaraannya keluar area Light Hotel. Lewat kaca spion dia masih bisa melihat hotel bintang lima itu menjulang.

"Sebentar lagi aku akan menjadi istri pewaris Light Hotel." Dia tertawa senang. Diraihnya handphone dari dalam tasnya yang ada di kursi samping. Tangannya membuka foto Aya Latifa dari deretan foto di galeri.

"Aya Latifa. Tristan sebentar lagi akan menjadi milikku. Maafkan aku, ya." Nina kembali tertawa. Kali ini bernada mengejek. Satu foto dirinya dan Tristan yang diambil dari kamar hotel dia kirimkan ke nomor kontak Aya. Bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan saat jarinya menekan tombol oke.

Terkirim.

Foto di dalam kamar hotel secepat kilat telah diterima handphone Aya Latifa di kampung halaman. Gadis itu baru saja melaksanakan Salat Duha. Masih mengenakan mukena, dia membuka telepon pintarnya. Dia takut ada pesan penting dari Aisyah mengenai kliennya yang rewel di Ayagown.

Ada satu nomor tidak bernama masuk. Dibukanya nomor kontak asing itu. Keningnya berkerut saat melihat perempuan dan laki-laki di dalam kamar hotel. Sekali lihat, Aya tahu siapa laki-laki yang tengah salat dalam foto.

"Tristan," gumamnya. Sebuah pesan tertulis di bawahnya

"Hai, Aya Latifa. Udah terima foto kami di hotel, kan? Jangan cariin Tristan lagi, ya. Dia udah sama aku lagi. Nina Suwandhi."

"Nina Suwandhi? Siapa dia? Mengapa sama Tristan di hotel?" Aya mencocokkan foto dengan keterangan di bawahnya. Mereka sepertinya ada hubungan dekat. Perempuan berambut panjang itu tiduran di bawah selimut tebal sedangkan Tristan tengah berdiri dengan posisi takbiratul ihram.

"Alhamdulillah, dia masih ingat salat." Ditutupnya benda pipih yang selalu menemaninya itu karena suara salah satu santriwati Abahnya memanggil dari luar kamar.

"Ada apa, Siti?" tanya Aya setelah membuka pintu. Mukena masih terpakai rapi di tubuhnya.

"Ning Aya dipanggil Bu Mufa di kamarnya," jawab gadis hitam manis sambil memeluk kitab Usfuriyah.

Aya tersenyum lalu berkata. "Terima kasih, Siti. Sekarang kamu lanjutkan mengaji."

Siti bergegas keluar menyusul temannya yang menunggu di halaman. Setelah merapikan mukena gadis itu pergi ke kamar ibunya yang ada di rumah utama, bertempat di sebelah rumah kayu yang ditempatinya dan para santriwati.

"Assalamualaikum, Bu. Maaf, tadi Aya masih salat Duha sampai lupa sekarang waktunya ibu minum obat," kata Aya dengan penuh penyesalan. Cekatan sekali tangannya meracik obat ibunya.

Wanita kurus yang tengah terbaring itu tersenyum. Hatinya selama beberapa hari ini terasa bahagia karena anak gadisnya menungguinya. Jika dia diperbolehkan mementingkan diri sendiri, ingin rasanya melarang anak kesayangannya itu kembali ke Semarang.

Shirath Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang