Bab 7. Kewajiban Pemuda Bertato

1 0 0
                                    

"Ini softdrink, Honey. Bukan ...." Suara Nina menggantung.

"I know." Tristan memotong ucapan mantan kekasihnya itu dengan cepat. "tapi aku menyukainya."

"Oke, aku mengerti." Nina menyerah. Gadis berambut panjang sebahu itu melanjutkan menyesap minumannya sambil memejamkan mata. Dia benar-benar menikmati malam ini dengan bahagia. Tiga hal yang bisa membuat hidup gadis itu lebih bersemangat adalah minuman, Tristan, dan musik.

Mereka asyik mengobrol hingga larut malam. Nina yang sudah banyak minum mulai ngaco bicaranya. Duduknya pun mulai tidak tegak. Bartender memberi kode Tristan untuk segera membawa pulang gadis cantik itu.

"Tristan, harusnya kamu pesan minumanmu seperti biasanya. Kita bisa mabuk bersama seperti dulu," celoteh Nina diselingi tawa renyahnya.

"Joe, beri aku satu lagi," pinta Nina sembari menyodorkan gelasnya yang telah kosong. Melihat kondisi Nina yang sudah mabuk, Tristan segera merebut gelas dari tangan Nina.

"Ayo, aku antar pulang."

Nina menghempaskan tangan Tristan saat pemuda itu ingin mengajaknya pulang. Gadis itu terkekeh pelan pada Joe dan tetap meminta minuman lagi.

"Nina, kamu udah mabuk," protes Tristan.

"Aku belum mabuk," sahut Nina turun dari kursinya dan berusaha berdiri tegak.

Tristan melihat Joe meracik minuman lagi untuk Nina. "Jangan beri dia minuman lagi, Joe. Kasihan dia."

"Jangan dengerin dia. Jangan! Aku ingin minum lagi. Cepat berikan minumanku, Joe!" perintah Nina sedikit keras karena dia tidak ingin bartender itu menuruti kata-kata Tristan.

"Jika tidak diberi minuman lagi dia tidak akan pulang. Bisa-bisa dia mengamuk. Makanya sejak tadi aku ngasih kode ke kamu, Bro," ungkap Joe pada Tristan.

"Dia pernah mengamuk?" Pemuda gondrong itu bertanya dengan heran.

"Ya. Untung ada dia." Joe menatap seseorang yang duduk sendiri di sudut ruangan dengan lampu temaram. Pria berkulit putih kemerahan itu mengangkat gelas padanya. Merasa penasaran, Tristan bertanya pada Joe.

"Siapa dia?"

"Namanya Ken. Dia pelanggan baru di bar ini. Setiap malam Minggu tuh cowok selalu hadir. Dia penolong Nina saat mabuk."

"Mereka teman?" Pemuda itu makin penasaran.

"Nggak tau, tapi Ken selalu menjadi dewa penolong Nina setiap mabuk." Joe si bartender menjelaskan.

Tristan mengerti. Dia menoleh pada Ken yang masih menatap mereka. Naluri lelakinya mencium sesuatu yang tidak baik pada pria itu. Bisa dikatakan dia curiga pada orang asing itu.

"Sepertinya aku harus mengantar Nina pulang. Joe, titip mobil Nina." Tristan mengajak Nina pulang. Gadis itu menolak. Saat Tristan sedikit memaksanya, justru gadis itu meronta-ronta.

"Kamu udah mabuk, Nin."

"Kamu yang mabuk. Aku masih ingin di sini."

"Nina."

"Nggak mau. Kenapa kamu ngajak putus? Tristan, aku sayang sama kamu. Harusnya kamu nggak ngajakin putus saat aku harus kuliah di Prancis. Kita bisa LDR an, kan." Nina menatap lurus ke bola mata hitam Tristan. Seolah ingin menengok isi hati mantan kekasihnya itu.

"Aku nggak ingin ganggu belajar kamu di sana, Nina." Tristan menjelaskan.

"Kamu udah punya cewek lain, ha?" Tatapan itu masih sama. Namun, mulai redup karena pengaruh alkohol. Tristan menggeleng. Untuk apa mengakui seseorang yang sudah dipinang orang lain dihadapan Nina. Gadis itu memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kalau gitu ... kita ...di sini aja sampai subuh! Hehehe." Nina memutar tubuhnya ingin kembali ke kursinya.

"Subuh?" Pemuda berkaos warna mustard itu terkesiap. Reflek dia melihat jam tangan. Sudah pukul 23.30 dan dia belum Salat Isya. Dia ke tempat ini setelah dari masjid waktu Magrib. Dia harus salat dulu, tetapi sebelumnya harus membawa Nina pergi dari bar ini.

Cara berdiri Nina yang sudah tidak stabil membuat dia jatuh ke lantai. Saat Tristan ingin menolong gadis itu, sosok tegap berambut klimis telah menolong Nina. Tangan Tristan kalah cepat.

"Are you oke, Nina?" Nina seperti sangat mengenal suara di dekat telinganya. Dia mendongak menatap pria tinggi tegap yang saat ini tengah memeluk pinggangnya. Seketika bola matanya yang berhias bulu lentik itu terbuka lebar.

"Ken. Lepas! Lepaskan tanganmu!" Nina meronta dengan pandangan tidak suka pada si pria asing. Melihat itu, tentu saja sebagai pria yang pernah menjadi pacar Nina, Tristan tersulut emosinya.

"Hei, Tuan. Lepaskan temanku." Tangan Tristan menepuk pundak si pria asing. Ken menoleh.

"Dia mabuk dan harus pulang," kata Ken dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

"Dia nggak mau denganmu, Tuan. Biar aku aja yang membawanya pulang. Permisi." Tristan mendekati Nina dan menaruh lengan gadis yang telah mabuk itu ke pundaknya. Ken menghalangi langkahnya. Bule itu memberi kode dengan matanya agar Tristan melepaskan Nina.

"Mau bule ini apa, sih?" gumam Tristan kesal.

"Nina tidak boleh kau bawa. Dia girlfriend aku." Ken berkata dengan bahasa Indonesia  tetap terbata. Tristan tersenyum miring. Tidak mungkin Nina mau berpacaran dengan pria yang usianya jauh lebih tua darinya.

"Minggir!" bentak Tristan mulai tidak sabar. Ken bersikeras hingga akhirnya mereka terlibat baku hantam. Dua lelaki tinggi itu saling pukul dalam bar. Nina berteriak-teriak. Beberapa orang yang bertugas mengamankan bar turun tangan melerai keduanya.

Dengan muka lebam, Tristan tetap membawa Nina pulang menaiki mobilnya, sedangkan Ken hanya diam menatap kepergian mereka dalam cengkeraman para bodyguard pemilik bar. Joe menarik napas lega karena Nina berada di tangan yang benar. Bartender itu merasa kasihan pada gadis itu. Setiap datang pasti menanyakan Tristan dan dia sering memergokinya menangis sembari menyesap minumannya.

"Gadis malang," gumam Joe si bartender.

Tristan membawa mobilnya masuk ke sebuah hotel. Sengaja dia mengajak gadis itu beristirahat di sana. Tidak mungkin dia mengantar Nina ke rumahnya tengah malam seperti ini. Dia kenal betul orang tua gadis itu. Mereka bertemperamen tinggi. Bukan ucapan terima kasih karena anaknya diantar pulang yang diterima, melainkan tuduhan-tuduhan keji akan mampir ke telinganya. Dia malas selalu dipandang sebelah mata oleh orang tua para gadis yang disukainya karena penampilannya yang penuh tato mirip preman.

Gadis itu dibaringkan di atas kasur. Dia sendiri masuk ke kamar mandi berganti pakaian yang dia minta dari pelayan hotel saat check in. Dia minta dibelikan baju atasan, sarung, dan sajadah pada pelayan hotel karena di tengah jalan pakaiannya terkena muntah Nina.

Pemuda itu mengikat rambut gondrongnya. Sajadah digelar di samping tempat tidur Nina. Dengan hati mantap, dia berdiri di atas sajadah menghadap kiblat.

"Allahu Akbar!"

Si pemuda bertato menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada Robb-nya. Kewajiban yang seharusnya telah ditunaikan sejak dia sudah akil balig. Akan tetapi, keluarganya yang sibuk mengurusi bisnis kurang peduli dengan ilmu agama yang seharusnya didapatkan seorang anak sejak masih kecil. Dia baru bisa istikamah menjalankannya setelah bertemu Aya Latifa. Perempuan baik hati yang bekerja sebagai desainer gaun pengantin. Gadis yang ternyata adalah putri seorang kiai di desa pelosok.

"Assalamualaikum warahmatullah." Dia mengakhiri salatnya.

"Tristan, sejak kapan kamu melakukannya?"

Tiba-tiba Nina yang berbaring miring menghadapnya telah sadar dari mabuknya dan bertanya.

Shirath Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang