Bab 22. Bidadari di Ruang UGD

3 0 0
                                    

Tristan bergerak cepat melayangkan pukulan dan tendangan pada tiga orang itu. Kemarahan dan kemampuan Tristan dalam menaklukkan musuhnya di masa masih jadi preman telah membuat tiga orang itu mundur bersama. Mereka saling pandang. Tidak lama kemudian mereka mengeluarkan senjata dari balik jaket mereka.

"Ya Allah. Tristan hati-hati, mereka bawa senjata!" Aya berkata lantang memberitahu pemuda yang telah memasang kuda-kuda. Mata elang Tristan mengawasi pergerakan senjata mereka. Beberapa detik kemudian, senjata-senjata itu telah mengurung tubuhnya. Mereka mencari kesempatan untuk membenamkan senjata itu ke tubuh pemuda yang penuh ragam hias itu.

"Kamu bisa berdiri?" tanya Aya pada Indra yang terluka. Indra mengangguk lemah. Tristan tidak mungkin menyerang mereka dengan kemarahan terus. Justru itu bisa membuat pertahanannya goyah dan lawan dengan mudah akan menerobos masuk.

Tristan yang lebih berpengalaman menghadapi musuh di jalanan segera menyusun strategi. Kondisinya yang lemah tidak mungkin bisa menghadapi tiga orang dengan mudah. Secepatnya dia harus mampu merobohkan mereka dan pergi dari tempat berbahaya ini. Subandri tidak akan tinggal diam melihatnya ada di sini. Dia tidak ingin Aya ikut celaka di tangan Subandri dan anak buahnya.

Pemuda itu segera bergerak cepat mematahkan serangan pisau lawannya. Lututnya berhasil menghajar orang itu hingga memekik kesakitan. Serangan Tristan tidak sampai di situ. Tendangan melayangnya mampu merobohkan pengeroyok berikutnya. Kini tinggal satu lawan. Akan tetapi, keseimbangan pemuda itu mulai menurun.

"Ya Rabb, tolong Tristan menghadapi mereka," bisik Aya memanjatkan doa.

Aya melihat tubuh Tristan mulai lemah. Sementara di depannya, anak buah Subandri yang membawa pisau mulai mendekati Tristan. Aya menoleh ke sana ke mari mencari sesuatu untuk membantu pemuda yang dicintainya itu terhindar dari tangan jahat kaki tangan Subandri. Orang itu menusukkan pisaunya ke perut Tristan. Di saat yang sama sebuah batu bata melayang tepat menghantam batok kepala orang itu.

Orang itu tersungkur dengan kepala berdarah. Pisau di tangannya jatuh. Melihat orang yang dilempar pingsan, Aya ketakutan.

"Aku telah bunuh orang. Aku penjahat!' Gadis itu menangis.

Tristan segera membungkam mulut gadis itu lalu mengajaknya pergi. Indra pun ikut bersama mereka.

"Kalian tidak becus bekerja. Tangkap tiga orang itu!" Subandri berteriak-teriak memanggil para tukang pukulnya. Dia sendiri berlari menuju ruang kerjanya. Tangannya menekan beberapa digit angka untuk membuka brankas. Setelah terbuka, dia mengambil pistol di atas tumpukan uang kertas. Dengan pistol itu dia mengejar Aya dan Tristan.

Untuk mengecoh pengejaran, tiga orang itu berlari lewat pintu belakang yang di rusak Tristan dengan besi yang ditemukannya. Mereka menyelinap di balik rimbunnya semak dan ilalang begitu keluar.  Di belakang mereka, Subandri dan empat anak buahnya tengah berlari mengejar.

Begitu mereka tidak terlihat, Tristan mengajak Indra dan Aya yang masih menangis karena mengira telah membunuh orang.

"Kamu nggak membunuhnya. Aku yakin dia pingsan doang. Tenanglah." Tristan berusaha menghibur hati gadis yang basah kuyub itu.

"Darimana kamu tahu kalau dia nggak ...."

"Yaelah, cuman gitu doang. Nggak bakalan mati dia. Kamu harus tenang, Ay."

Aya mengangguk ragu. Rasanya dia ingin memastikan sendiri orang itu pingsan atau meninggal.

"Hei, tunggu!"

Dari belakang gang yang mereka lewati, Subandri dan anak buahnya berlari mengejar. Tristan, Aya, dan Indra segera berlari menyelamatkan diri. Pelan-pelan Subandri mengarahkan moncong pistolnya ke punggung Tristan, Aya, dan Indra. Dia bingung, siapa yang harus ditembak. Pemantik peluru dari revolver milik Subandri berkaliber 38 mm menyala.

Shirath Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang