Bab 2. Ditentang Keluarga

5 1 4
                                    

Aya mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas punggungnya karena dia merasa dehidrasi. Lewat sedotan, gadis berkulit sawo matang itu membasahi kerongkongannya. Tubuhnya seketika terasa segar.

"Alhamdulillah," ucapnya sembari menutup botol minum kemudian memasukkan kembali ke dalam tas. Perlahan punggungnya disandarkan ke kursi kereta. Berharap kereta yang ditumpangi melaju lebih cepat agar bisa sampai ke Blora. Daerah yang menjadi tanah kelahirannya.

Entah ada keperluan apa lagi keluarganya meminta dirinya pulang. Ada firasat tidak enak menggelayut di hatinya. Jika ada sesuatu biasanya keluarga akan cukup memberi kabar dengan berkirim pesan lewat aplikasi hijau atau menelepon. Tidak ada satupun saudaranya yang memberitahu saat dikonfirmasi lewat pesan. Mereka bungkam seribu bahasa. Seperti tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Jika mereka mempermasalahkan hubungannya dengan Tristan, dia ingin menyerah saja. Tidak mungkin dia selalu berdebat membela kekasihnya itu. Diam mungkin kurang tepat dalam menghadapi masalah, tetapi itu jalan teraman untuk menghindari perdebatan yang tidak ada penyelesaian dengan orang tuanya.

"Sampai kapanpun Abah tidak setuju jika kamu menikah dengan pemuda tak tau agama itu. Seorang imam haruslah tahu syariat agar bisa membimbing istri dan anaknya menuju jalan yang diridhoi Allah." Kata-kata Abah kembali terngiang. 

Keputusan yang membuat hatinya nyeri. Tristan merupakan cinta pertamanya. Selama ini dia selalu menuruti nasihat Abah untuk tidak berpacaran. Bahkan sering dia menolak cinta dari pemuda di luar sana. Semata-mata patuh pada keluarga.

"Ingat martabatmu sebagai wanita dan putri Abahmu," pesan Ibu suatu malam di kamarnya menjelang keberangkatannya ke Jakarta.

"Nggih, Bu," jawabnya saat itu. 

Mendapat restu kuliah di Jakarta saja sudah menjadi kebahagiaan bagi gadis dari keluarga agamis yang rata-rata berpendidikan salaf ini. Hanya dia satu-satunya anak yang keluar jalur. Menempuh pendidikan umum dan memilih menjadi Desainer.

Awal-awal kuliah, semua orang dalam keluarganya mengucilkan dirinya. Setiap berkumpul mereka akan sengaja membahas hukum-hukum Islam, kitab kuning, dan perolehan hafalan Al-Qur'an. Tujuannya agar dia minder lantas mengikuti jejak mereka.

"Setiap orang memiliki bakat dan passion masingmasing. Tolong beri aku kesempatan."

Hampir ke semua keluarga, kata-kata itu dia lontarkan. Namun, hanya rasa kecewa yang didapat setelah kalimat andalan Aya itu dikeluarkan. Mereka tetap tidak mau tahu. Bagi mereka, dia bagai aib keluarga yang harus segera dibuang. Dalam hati Aya Latifa terus menguatkan diri agar bisa membuktikan pada mereka bahwa dia bisa sukses.

"Sukses dunia saja apa untungnya?" cibir Kak Bukhori saat Aya mengemukakan pemikirannya.

"Kita ini akan hidup selamanya di akhirat. Kekayaan dunia tidak akan kita bawa mati. Jadi pengetahuan agama lebih penting." Kakak yang biasanya menjadi panutannya justru menorehkan luka di hatinya. Lebih sakit lagi saat saudara tuanya itu menjadi provokator penolakan Tristan menjadi anggota keluarga Kiai Muslih.

"Nama baik keluarga kita akan kau coreng lagi jika  memasukkan anak itu ke dalam keluarga kita." Demikian alasan kuat sang kakak atas tidak penolakan lamaran Tristan.

Aya menyusut air mata setiap teringat sikap saudaranya. Dia menarik napas panjang karena tiba-tiba dadanya terasa oleh sesak tangis.

"Hidup menyandang status Ning tidak seindah yang dibayangkan orang lain," gumamnya sendiri.

Dia melihat ke kanan. Devan masih tertidur pulas. Di seberang kursi, sepasang muda mudi tengah duduk berdua. Si perempuan tidur dengan menyandarkan kepalanya ke pundak si pria. Keadaan si perempuan berpakaian tertutup dan berhijab. Saat si pria mengikat rambut ikalnya, kedua telinga pemuda itu penuh anting. Leher pemuda itu juga bertato.

Keadaan pemuda itu tidak jauh beda dengan keadaan Tristan, kekasihnya. Gadis di sampingnya sangat beruntung, setidaknya dia bisa tidur nyenyak dekat sang kekasih. Tanpa beban pikiran.

Aya mengangguk kecil saat pemuda itu menoleh ke arahnya. Mungkin dia merasakan ada orang yang mengawasinya sejak tadi.

Kereta api itu terus melaju cepat menyusuri pepohonan jati sebelum membelah hamparan sawah yang menghijau. 

Sore hari, kereta berhenti di stasiun tujuan. Aya berjalan pelan bersama para penumpang menuju pintu keluar. Dia tidak melihat Devan. Mungkin dia sudah berada di depan dan turun lebih dulu.

Aya berjalan keluar stasiun. Sinar hangat sore hari menyambutnya. Gadis bersepatu warna putih itu mampir ke sebuah tempat makan untuk mengisi perutnya yang mulai melilit. Dia menyebutkan menu soto dan segelas jus alpukat saat pelayan bertanya. 

"Ini mbak pesanannya," kata pelayan perempuan sembari meletakkan semangkuk soto ayam dan segelas jus alpukat di meja Aya.

"Terima kasih, Mbak."

Aroma segar dan gurihnya soto ayam membangkitkan air liur. Setelah membaca doa makan, gadis itu menyantap pesanannya. Setiap pulang kampung, dia selalu menyempatkan mampir makan di rumah makan dekat stasiun itu. Rumah makan "Enak" menu makanannya memang enak tiada duanya. Kira-kira begitu menurut gadis berusia dua puluh lima tahun itu.

"Loh, kita ketemu lagi, Mbak."

Tiba-tiba Devan telah berada di samping Aya yang asyik menyantap makanannya. Dia mendongak. Menatap cowok tinggi berkulit bersih itu. Pandangan mereka bertemu. Aya segera menunduk. Menatap wajah cowok dengan waktu lama hanya dia lakukan kepada Tristan. Dia tidak ingin melakukannya dengan orang lain. Apalagi dengan pria yang baru dikenal.

"Lapar juga?" tanyanya.

Devan mengangkat pundak lalu pergi menuju pelayan yang tengah mencatat pesanan pengunjung di kursi ujung. Setelah memberitahu pesanannya pada si pelayan, pemuda berjaket itu duduk di depan Aya. Jaket itu dilepaskan dan diletakkan di pangkuannya. Kaos putih ketat yang membungkus tubuhnya itu memamerkan kegagahan si pemuda pada Aya Latifa.

"Sepertinya kita akan sering bertemu. Gimana kalau kita saling tukar nomor handphone?" Tanpa menunggu jawaban Aya, Devan mengeluarkan gawainya dari dalam tas dan siap menuliskan nomor handphone teman barunya.

"Ayo sebutkan nomornya," perintah Devan menunggu.

Aya tetap menyantap makanannya. Kuah soto itu terasa begitu gurih dan segar di mulutnya. Rasanya dia enggan berhenti . Tidak peduli dan membiarkan Devan menatapnya dengan sabar.

"Berapa?" Pemuda berlengan kekar itu mulai tidak sabar.

"Kamu nggak tahu aku lagi makan?" tanya Aya tanpa menghentikan aktifitasnya. Lama-lama dia sebal juga sama Devan. Pemuda itu terlalu seenaknya sendiri mengatur dirinya. Dia sudah pusing dengan aturan-aturan keluarga yang harus dipatuhi, kini muncul Devan.

"Berhenti sebentar juga bisa." Dia sedikit menggerutu. Aya mengulurkan tangan untuk meminta handphone Devan.

"Berikan handphone-mu," ujar Aya.

Devan memberikan benda kesayangannya itu pada gadis manis di depannya. Jari-jari lentik bercat kuku hitam itu menari cepat di atas layar benda pipih itu.

"Nih." Devan menyambar handphone itu dan membukanya. Matanya mengawasi deretan angka dua belas digit itu dengan teliti. 

Aya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kasir. Devan ingin mencegah gadis itu, tetapi pelayan rumah makan telah membawakan pesanannya.

"Silakan, Mas," ucap pelayan ramah. Pemuda berkacamata itu hanya tersenyum sebagai ganti ucapan terima kasih pada pelayan karena setelah itu, netranya fokus pada tas punggung Aya yang tengah membayar makanannya pada kasir. Gadis itu menghampiri mejanya lagi.

"Kurasa arah bis kita sama. Cepat habiskan makanmu!" Kini ganti Aya yang mengatur Devan.

"Sok tahu!" omel Devan.

"Emang. Aku kan punya Indra ke sembilan," celetuk Aya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Makanan dari mulut Devan menyembur mengotori mejanya. Gegas tangannya menyambar tissue untuk membersihkan meja. Akibat terlalu kaget dengan jawaban temannya, akhirnya dia tersedak. Hidungnya terasa panas dan tidak nyaman. Diteguknya es teh miliknya untuk mengurangi rasa panas itu.

"Siapa suruh tersedak."















Shirath Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang