Chapter 7: She Was A Captain, Once.

698 82 8
                                    

Begitu Becca turun di mobilnya—tentu saja setelah menumpang di apartemen Nam untuk membersihkan diri dan berganti pakaian dengan cepat—sersan muda itu langsung menuntun kedua tungkainya untuk masuk ke pintu utama kantor polisi dengan cepat. Tempat yang ia tuju sekarang bukanlah ruangan tempat timnya biasanya berkumpul untuk rapat kecil atau bekerja seperti biasa, melainkan sebuah ruangan khusus yang berada di dekat ruang interogasi.

Tiap kali kakinya melangkah, jantung di dadanya berpacu semakin cepat. Membayangkan penjelasan macam apa yang akan diberikan oleh saksi mata yang dibawa oleh Heng. Dugaannya sudah kuat tentang pelaku pembunuhan yang membunuh para wanita muda, mengancam dirinya dan keluarganya, hingga menyebarkan terror ke seluruh kota adalah orang yang ia kenal. Melalui pernyataan saksi mata ini, ia mungkin bisa mengetahui lebih jelas siapa orang yang dimaksud itu.

Karena ia mungkin akan langsung mengenalinya begitu saksi ini menyebutkan ciri-ciri yang lebih jelas. Ia juga sudah menyiapkan rekaman kamera cctv rumahnya yang sedikit menunjukkan sosok si pembunuh, dan ia akan menunjukkannya saat pemeriksaan saksi. Bagaimana pun juga, ia harus bisa mengorek informasi ssbanyak-banyaknya nanti. Sejak pertama kali ia mengurus kasus pembunuhan ini, ia tidak pernah menemukan saksi mata—ini adalah yang pertama kali, jadi ia sangat berharap bisa mendapatkan keterangan yang bisa membawanya menuju titik terang.

Ia membuka pintu menuju ruang interview, dan langsung dihadapkan dengan sebuah kaca besar yang menghadap langsung ke dalam ruangan dengan satu meja dan empat kursi—di dalamnya terdapat dua orang yang sedang duduk berseberangan, tampak sibuk mengobrol serius tentang suatu hal. Di depan kaca itu, Heng berdiri dengan lengan terlipat di depan dada. Pria tinggi itu segera membalik badan begitu Becca melangkah masuk ke dalam ruangan.

Heng menggaruk lehernya yang tak gatal. Pria itu sepenuhnya bingung harus berkata apa begitu melihat sedikit goresan dengan noda darah kering yang menempel di wajah Becca. Ia sudah tahu dari Dokter Nam tentang Becca yang mendadak bersikap agresif dan sempat melukai orang lain, memberikan pesan padanya bahwa ia harus menjaga Becca agar tidak terjebak di posisi yang membuat emosinya meledak-ledak. Tapi memang sifatnya yang terlalu aktif untuk berbicara, maka ia tidak terlihat ragu sedikit pun ketika berucap, "Jadi memang benar apa yang dikatakan oleh, Dokter Nam."

"Apa?" Becca refleks mengusapkan punggung tangan pada wajahnya begitu tahu tatapan Heng tersorot tajam pada satu titik yang ada pada wajahnya. Memang tidak ada darah, tapi ia merasakan perih begitu jarinya menyentuh bagian di dekat jembatan hidungnya. "Jangan katakan apapun tentang ini karena itu sama sekali bukan urusanmu, Heng."

"Aku tahu. Tapi jika itu sampai mengganggu kinerjamu sebagai polisi, menurutmu apa yang harus aku lakukan sebagai rekan kerja sekaligus seniormu di tim? Aku tahu betul kau berusaha keras untuk menyelesaikan kasus ini, tapi jika kau merasa sudah mencapai batasmu... mungkin kau bisa mempertimbangkan menyerahkan kasus ini ke orang lain."

Oke, sudah cukup. Sejak pertama kali Heng menyebut tentang apa yang terjadi di TKP dari keterangan Nam, Becca sudah merasakan ledakan panas yang naik dari dada hingga ke ujung kepala. Dan itu membuat tubuhnya panas luar biasa. Ia sudah muak mendengar orang lain yang menganggap dirinya gila sehingga ia harus mundur dan membiarkan kasus ini diserahkan ke orang lain.

Apakah ia tampak seperti orang yang perlahan-lahan kehilangan kewarasannya seperti orang gila yang diikat di rumah sakit jiwa? Selama ia masih bisa berpikir, berjalan, bertidak sesuai keinginan otaknya, maka Becca yakin kewarasannya masih ada di dalam kepala—ia masih sepenuhnya sehat. Well, tanpa menyebutkan mimpi aneh dan halusinasi yang sesekali mengganggunya.

Ia baik-baik saja. Ia percaya bahwa ia masih baik-baik saja. Jelas saja ia merasa harga dirinya tercoreng ketika ada orang lain yang menganggapnya tidak waras. Dan demi Tuhan, seandainya saja ia tidak memiliki kontrol emosi yang cukup baik, mungkin ia sudah menampar Heng dan memberinya berbagai jenis sumpah serapah paling kasar yang pernah ia pelajari.

Straight To HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang