Chapter 3: Sudden Ourburst

862 104 0
                                    

Freen tampak sedang menuliskan sesuatu di atas buku catatan kecilnya ketika Rebecca kembali dari tidur singkatnya di ruang loker—beberapa anggota meninggalkan kasur lipat tipis di sana, jadi ia memakainya untuk tidur. Lagipula, mengetahui ada kamera tersembunyi di rumahnya sendiri membuatnya enggan untuk pulang dan mengekspos dirinya lebih banyak lagi—wanita berambut panjang itu nampak sangat serius, dilihat dari wajahnya yang terlipat dan tampak tidak menghiraukan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Rapat pemaparan akan dimulai sekitar satu jam lagi. Jadi mungkin Freen sedang mencatat beberapa hal penting yang perlu ia sampaikan nanti. Berjalan perlahan seraya menganggukkan kepala pada kolega yang duduk di mejanya masing-masing dan lewat di sampingnya, Rebecca menghentikan langkahnya bukan di tempatnya sendiri melainkan tepat di samping meja Freen.

Letnan itu menyadari kedatangan Rebecca, dari atas ia dapat melihat kepala Freen menengok sedikit ke samping—mungkin melihat sepatu Rebecca—sebelum mendongak ke atas dan memandangnya dengan sorot mata tajamnya. "Selamat datang kembali, sersan. Tidak jadi mati, ya?" Freen berucap, singkat dan padat. Ia tak mengatakan apapun lagi dan kembali menunduk untuk menulis catatan.

Rebecca menggelengkan kepala penuh rasa frustasi. Baru saja ia kembali dari istirahat singkatnya, ia sudah disambut dengan kalimat tidak mengenakkan dari rekan tim barunya ini. Lihat, inilah mengapa ia tidak pernah menyukai anggota baru yang dimasukkan ke dalam timnya. Sebab semua orang yang masuk ke dalam tim, hampir tidak ada yang memiliki otak yang waras—semuanya sinting.

"Bisakah kau sedikit lebih sopan pada kepala timmu?" Rebecca menjawab. Ia mengangkat tangan kanannya dan menempelkannya di permukaan meja, menggunakan meja kerja Freen sebagai tumpuan.

"Asal kau tahu, kau itu juniorku."

Jujur saja, Rebecca bisa gila jika ia terus berdiri di sini dan berbicara dengan manusia setengah setan di depannya ini. Maaf saja, masalahnya sendiri sudah cukup pelik dan ia malah diberi masalah baru dalam bentuk manusia seperti ini—jelas saja Rebecca menjadi semakin muak. Ia menutup matanya sejenak, memalingkan wajah ke arah lain—pada jam dinding—dan mengatur napasnya selama beberapa detik.

Tapi seakan tidak selesai membuat hari Rebecca Armstrong menjadi lebih buruk, kalimat yang diucapkan oleh Freen selanjutnya seakan menyerupai tombak tajam yang menembus dadanya.

"Aku sudah membaca laporan penyelidikan dan laporan hasil otopsi dari dua mayat sebelumnya. Dan untuk mayat ketiga, karena laporan penyelidikan masih belum diberikan oleh petugas lapangan, maka aku baru membaca laporan otopsi. Dan... aku hanya bisa menyimpulkan bahwa cara kerja kalian cukup menarik."

Rebecca menaikkan satu alis. "Apa maksudmu?"

"Kalian baru bergerak ketika sudah ada yang mati. Baiklah, menebak jalan pikir pembunuh gila dan menyelidiki tanpa arah begini memang sulit. Tapi, hey, ayolah, kalian itu polisi berpendidikan."

BRAK

Rebecca sontak berderak maju, menarik kerah kemeja hitam yang dikenakan oleh Freen—memaksa wanita itu berdiri secara paksa seolah-olah ia hendak mengajaknya berduel satu lawan satu dengan tangan kosong. Otot-otot di kedua tangannya berkedut nyeri begitu ia memperkuat cengkeramannya, tapi itu tak sebanding dengan amarah yang menyesakkan dada dan memanaskan pucuk kepala.

Wajah Rebecca seketika berubah merah padam—ia marah, tak lagi bisa menahan emosinya begitu mendengar kalimat Freen yang diucapkan dengan wajah tanpa dosa. Dengan jarak sedekat itu, Rebecca dapat melihat wajah Freen yang datar. Ia tidak menunjukkan raut wajah apapun saat diprovokasi oleh Rebecca. Ia hanya menatap lurus pada kedua iris coklat sersan itu dengan bibir terkatup. Napasnya pun tidak tersengal, ia bernapas seperti biasa seakan tidak sedang terjadi apa-apa.

Straight To HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang