Chapter 10: Murder-Suicide of The Chankima's Family

748 89 37
                                    

Chapter ini mengandung adegan bunuh diri dan pembunuhan, namun tidak bermaksud mendukung ataupun mengglorifikasi kedua hal tersebut dan memiliki porsi penting dalam perkembangan cerita. Apabila pembaca merasa tidak nyaman, maka silakan melewati sequence pertama dari chapter ini yang menceritakan latar belakang keluarga Letnan Sarocha Chankimha. 

Perlu ditegaskan kembali bahwa apa yang ada di dalam buku ini adalah fiksi belaka dan tidak berhubungan dengan orang asli dan peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

---

Sejak kecil Freen selalu diajarkan untuk hidup dengan prinsip yang teguh. Ayahnya lah yang memberikan pendidikan dan menanamkan pola pikir semacam itu dan Freen bersumpah akan selalu menancapkan prinsip miliknya sendiri di dalam kepala. Ia berpikir hatinya akan tetap teguh menjaga prinsip tersebut. Tapi ternyata ia salah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, prinsip yang ia genggam kuat-kuat pun goyah.

Itu terjadi ketika ia berusia 10 tahun. Pada sore hari, sang ibunda yang sedang sibuk memasak di dapur memanggilnya dan memintanya untuk membeli beberapa barang di minimarket. Ia diberi sejumlah uang dan selembar catatan, tak lupa ibunya berpesan untuk segera pulang setelah menyelesaikan kegiatan belanjanya itu.

Freen kecil pun segera berangkat dengan perasaan riang dan wajah yang begitu cerah, membayangkan berapa banyak permen cokelat yang bisa ia dapatkan dari uang kembalian. Ia selalu suka berbelanja—baik sendirian atau ditemani orang tuanya. Salah satu alasannya adalah karena ia bisa melihat dunia luar dan berbagai macam kesibukan yang dilakukan oleh orang-orang. Para pekerja dengan pakaian jas atau blazer yang berjalan cepat untuk mengejar angkutan umum, hingga para pelajar yang menenteng buku-buku dan berjalan beriringan bersama teman-temannya.

Ketika ia tiba di rumah, bukan sebuah senyuman hangat yang biasanya selalu diberikan oleh kedua orang tuanya tiap kali ia tiba di rumah. Bukan pula tepukan lembut yang selalu ayahnya berikan di pucuk kepala setiap kali Freen berhasil melakukan apa yang diminta dengan sempurna. Yang ia lihat hanyalah pemandangan mengerikan dari darah yang menggenang dari ruang tamu hingga dapur dan kaki yang berayun-ayun di ambang pintu.

Dan ia berteriak, keras. Sangat keras. Membuat tetangga-tetangga di sekitar rumahnya berdatangan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di kediamannya. Sebagian orang refleks berteriak ketakutan begitu melihat apa yang ada di dalam rumah, sebagian lainnya segera menghubungi polisi dan mengamankan Freen karena waktu itu ia masih histeris karena shock.

Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa itu adalah kasus bunuh diri yang sudah direncanakan sebelumnya. Ayahnya membunuh ibunya terlebih dahulu dengan menggunakan pisau dapur sebelum ia menggantung dirinya sendiri di ruang tamu. Sepertinya rencana ayahnya tidak berjalan mulus karena ibunya sempat melawan—dapat dilihat dari banyaknya darah yang berceceran di dalam rumah—meski akhirnya ayahnya tetap bisa membunuh ibunya di dapur dengan menusuknya secara brutal.

Mungkin, peristiwa itulah yang membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Sejak kedua orang tuanya meninggal dengan cara yang sangat tragis, Freen harus dipindahkan ke pusat rehabilitasi untuk menangani trauma pasca insiden yang mungkin akan menghantuinya selama beberapa tahun. Ia juga akan tinggal di panti asuhan mengingat kedua orang tuanya tidak memiliki keluarga lain yang bisa dijadikan sebagai wali.

Freen masih ingat betul. Kenakalan macam apa yang sudah ia lakukan selama ia tinggal di panti asuhan dan menjalani rehabilitasi. Meski secara pribadi ia merasa bahwa dirinya tidak pernah melakukan apa yang disebut sebagai kenakalan itu—ibu penjaga panti lah yang memberikan pemahaman bahwa yang ia lakukan patut dikategorikan sebagai sebuah kenakalan dan oleh karena itu Freen harus menginteropeksi dirinya sendiri serta menerima sejumlah hukuman.

Straight To HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang