Prologue: The Midnight Call

2.1K 138 9
                                    

Ini adalah satu dari ratusan malam yang sudah ia lewati semasa ia hidup. Dan setiap kali ia berbaring di tempat tidurnya yang keras, di dalam ruangan yang memiliki pendingin ruangan yang disetting ke suhu yang paling rendah, serta ditemani oleh suara ketukan jam dinding, ia tak bisa menahan diri untuk merenung dan memikirkan apa yang sudah terjadi semasa hidupnya.

Apakah jalan yang ia ambil sudah benar? Apakah semua keputusan yang membawanya hingga ke titik ini adalah keputusan yang tepat baginya dan semua orang yang ada di dekatnya?

Berbagai kilasan memori terlintas di kepalanya dan ia sengaja memejamkan mata rapat-rapat, sepenuhnya menolak kenyataan bahwa semua yang ia ingat dan ia lihat selama ini adalah hal nyata—dan ia tak menduga bahwa ia sedang terlibat di dalamnya. Hidupnya, hidup keluarganya, dan bahkan... hidup rekan-rekannya—semuanya berada di dalam genggaman tangannya.

Ia seperti tengah menggenggam benang tipis yang kapan saja bisa putus. Satu saja keputusan salah ia ambil, maka nyawa satu orang akan benar-benar direnggut.

Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan semua yang sudah ia dapatkan sekarang, karena, tentu saja, entah mengapa semua bukti yang ia miliki seakan menipunya dan membawanya pada hasil akhir yang salah. Dan sekarang, ia sudah cukup lelah dengan semuanya dan bermaksud untuk lari dari kehidupannya yang gelap selama beberapa waktu.

Melupakan darah, daging, dan bau mayat yang selalu berjejal masuk secara tidak sopan ke dalam hidungnya. Sebegitu parahnya sampai-sampai pengharum ruangannya yang berbau lavender terasa seperti bau daging manusia busuk yang selalu ia hirup ketika bekerja.

Beberapa menit berlalu. Perlahan, ia tenggelam dalam sepi. Matanya terpejam dan pikirannya perlahan-lahan menjadi tenang. Ia sadar bahwa ia sudah tertidur dan sesaat lagi mimpi buruk akan menyambutnya—seperti biasa. Akan tetapi, mendadak suara ponsel membuatnya sontak terbangun.

Berdecak kesal, diambilnya benda elektronik yang diletakkan di atas meja nakas. Dengan mata setengah buram sebab kantuk yang berat dan air mata yang entah sejak kapan menganak di kedua matanya, ia menatap layarnya dan menemukan salah seorang anak buahnya menghubunginya.

Ia pun menerima panggilan telepon tersebut.

"Inspektur! Inspektur Armstrong!" wanita itu tersentak—sesegera mungkin menjauhkan speaker ponsel dari telinga. Nada bicara dari seseorang yang ada di sudut sana benar-benar membuatnya terkejut, dan biasanya setelah ini akan ada berita buruk yang muncul.

Ia tidak menyukai itu. Ia benar-benar tidak menyukai itu semua.

Kendati demikian, dengan jantung berdegup kencang dan keringat dingin yang mendadak mengucur deras dari dahi dan menetes turun hingga dagu, wanita itu akhirnya mendekatkan ponsel ke telinganya dan menjawab, "Bicara."

"Mayat. Kali ini berada di halaman pusat perbelanjaan terkenal yang ada di Bangkok, aku akan mengirim lokasinya padamu dan cepatlah kemari. Aku—"

"Bagaimana keadaannya?"

Setelah memberikan jawaban, seseorang yang berada di ujung telepon tak langsung memberikan jawaban. Tetapi, ia dapat mendengar suara hembusan napas tersengal yang dengusan yang terdengar begitu jelas. Seiring dengan keheningan yang mencekam, cengkeramannya pada ponselnya menjadi semakin kuat dan ia yakin sekali, jari-jarinya sudah memutih karena itu.

"Aku bertanya padamu, bagaimana keadaannya?" bangkit berdiri dari tempat tidur dan menyambar jaket tebal yang tersampir begitu saja pada sandaran kursi, inspektur polisi itu kembali mengejar dengan pertanyaan yang dilontarkan dengan nada bicara yang lebih tegas dari sebelumnya. "Hei! Kau mendengarku atau tidak? Sialan, jangan buat aku—"

"Inspektur, kedua matanya..." suara serak itu kembali terdengar. Dan detik selanjutnya, ketika tangannya sudah menyambar kunci mobil dan ia tengah berjalan menuju pintu keluar apartemen, sebuah kalimat lanjutan dari sang anak buah membuatnya sontak menghentikan langkah. "Si pembunuh membuatnya menelan bola matanya sendiri sebelum ia dibunuh. Dan lagi-lagi ia meninggalkan selembar surat dan foto polaroid yang ditujukan kepadamu. Tolong, cepatlah kemari."

Straight To HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang