*****
Dia, sempurna. Dengan segala kecewa dan bahagianya.
*****
Tentang bintang yang sedang melihat jelas luka yang tertoreh pada hati seseorang. Tentang langit gelap, yang menemani luka besar itu pada sebuah taman pelataran bangunan besar yang disebut sebagai rumah sakit. Bukan maksud tidak sopan semesta mengetahui akan luka besarnya, hanya saja luka itu nampak dengan jelas dan amat kentara. Sehingga semesta pun tahu, bahwa perlu obat banyak untuk luka yang banyak.
Dingin memang menembus permukaan kulit hingga sampai menusuk ke tulang. Akan tetapi usaha dalam dekapan juga tidak sia-sia untuk sekedar menghangatkan tubuh yang tidak lagi kokoh seperti biasanya. Tangguhnya jatuh, wibawanya hilang, juga... ketegasannya telah lemah. Semua aura akan pemimpinnya sudah dipenuhi dengan kecewa besar yang meluluh lantahkan hati kerasnya.
Ah, dasar cengeng! Wajah tegas itu hanya memerah dengan mata yang berkaca-kaca. Mulutnya bungkam, semua keluh kesahnya terkunci tanpa mau ia utarakan.
"Kecewa itu boleh. Tapi, jangan terus dipendam sampai lupa bahwa memaafkan itu perlu meskipun bohong. Sedih juga boleh, tapi inget, senyumnya jangan hilang seperti yang pernah lo bilang ke gue sebelumnya." Tangan yang terus mengusap pundak kekasihnya itu mampu menyalurkan kehangatan yang berbeda. Zora tahu, cukup sulit menghibur Leo yang terlampau menaruh dendam besar dalam hatinya.
Jika memaafkan dengan bohong itu perlu, mungkin bisa di coba. Tetapi apa kata hati? Hati bahkan tidak bisa diajak berpura-pura memaafkan sebagai formalitas semata. Karena kenyataannya, Hati jauh lebih mengerti tentang apapun.
Leo menatap langit yang selalu gelap akhir-akhir ini karena tidak ada bulan yang menerangi. Hanya terlihat beberapa bintang yang bersinar, dalam pandangannya memang sedang mengejek tanpa bersahabat. Sial! Bahkan sang bintang pun ia tuduh sebagai musuhnya.
"Gue cengeng ya, Ra? Selemah ini gue sekarang? Hanya masalah rumah!" Kacau memang selalu memenuhi pikiran Leo. Tetapi ia sempat memiliki pemikiran seperti ini, Keluarga itu bukan rumah. Mereka hanya penghibur semata disaat lelah datang menyapa. Rumah yang sebenarnya itu, penuh dengan sayang dan ketenangan. Tidak hanya ramai yang menyenangkan.
Tentang kesalahpahaman kemarin telah usai. Kini kembali lagi pada zona seseorang yang berperan sebagai rumah, dan seseorang yang berperan sebagai penghuninya. Kesimpulannya, memang perlu seseorang yang baik-baik saja untuk dia yang sedang terluka. Lucu! Bahkan manusia pun dibuat saling memahami.
"Kalo lo lemah, gue apa? Gue kenal lo sebagai laki-laki tangguh dan penuh jiwa kepemimpinan. Awal dari kisah lo, gue dengar bahwa lo manusia yang tertutup tanpa peduli sekitar. Lo dingin, lo keras, bahkan nyaris nggak pernah punya ekspresi." Zora tersenyum manis. Mengusap wajah Leo yang kini menatapnya.
"Dan itu terbukti sekarang. Lihat! Wajah tegas ini sekarang memerah karena menangis, wajah tegas ini sekarang dihiasi dua luka di bagian kening. Dan lihat! Wajah tegas tanpa ekspresi ini sekarang layu, pucat, dan penuh raut kecewa. Dan itu semua definisi ketangguhan lo dengan versi berbeda."
Dia hebat, masih bisa menahan tangis meskipun kelopak mata seolah terasa perih karena sakitnya air mata yang tertahan. Sejatinya, Leo memang sungkan untuk menampilkan lukanya meskipun orang disekitarnya sudah tahu.
Zora memeluk Leo erat. Menyalurkan kehangatan pada malam dingin yang mengajak angin berhembus kencang. Lalu, ia kembali melontarkan kalimatnya, "Leo, gue udah datang dengan senyum yang banyak. Seharusnya lo menyambut dengan senyum yang banyak juga, bukan dengan senyum yang hilang."
"Ra?"
"Iya?"
"Kecewa itu bohong. Semarah apapun gue nggak akan bisa merasa kecewa. Dalam diri gue, bahkan mendorong buat meluk siapapun mereka yang nyakitin gue. Tapi dalam sisi lain, gue pengen jadi manusia kejam tanpa mau mengenal rasa kasihan." Leo beralih menyandarkan kepala Zora pada bahunya. Merangkul kekasihnya yang sudah berani menjadi rumah untuknya itu dengan hangat.
"Karena lo itu beda, Le. Biarin mereka mengenal lo kejam dan keras. Tapi gue, nggak pernah mengenal lo sebagai itu."
"Gue mengenal lo sebagai laki-laki hebat, yang sempurna dengan luka dan bahagianya."
Kalau kalimat manis bisa terucap olehnya, maka kehebatan juga akan tumbuh pada jiwa ketangguhannya. Biarkan luka membersamainya, biarkan juga bahagia mengimbanginya. Dan jangan pula lupa untuk mengizinkan senyum banyak menghiasi wajah tampannya. Jika dia bisa bertarung dengan kecewanya, lantas ia pasti bisa menerima sebuah maaf penyesalannya.
*****Leo menyandarkan tubuhnya pada sofa diruangan rawatnya. Setelah kepulangan A
Zora, tiba-tiba saja lelah menerjang tubuhnya yang tidak segar. Mata lelahnya ingin sekali terpejam. Namun suara berisik anak - anak toxic datang menyapa indera pendengarannya."Brengsek! Berisik!" Umpat Leo tak tertahan. Waktu sudah mendekati pukul sebelas malam. Ya meskipun dirinya belum tidur, tentu juga mengganggu pasien dari kamar lain.
Ardo tiba-tiba mendekat ke arah Leo dan duduk disampingnya. Menatap lamat wajah sahabatnya yang masih pucat itu dengan raut wajah jenaka. Cengirannya membuat Leo mengernyit bingung.
"Kenapa lo?"
"Yo, gue punya panggilan keren buat lo!" Ardo berucap besar. Merasa bahwa nama panggilan yang ia buat itu memiliki gelar besar layaknya bangsawan.
Leo mengernyit, meskipun malas ia tetap menanggapi sahabat anehnya itu. "Apaan?"
"Muka gangster, tubuh monster, jiwa bidadari. Panggilan itu sangat cocok untukmu wahai tuan prabu Leo Dirgan Falanio," Cengiran lebar menghiasi wajah Ardo seketika.
"HAHAHAHA ANJING KECE!"
"Konyol! Bangsat, anjing, tolol, Lo!" Leo menimpuk wajah Ardo dengan bantal sofa. Ia mengalihkan wajahnya, menahan malas dengan lelucon dari sahabat-sahabat kurang akhlak seperti mereka.
Jika kebanyakan orang akan menghibur dengan bahagia, maka tidak dengan mereka. Semua pasti tahu, bahwa inti Venzaros sedang berusaha menghibur wakil ketuanya. Bedanya, dengan cara membully seperti barusan. Tidak apa-apa mendapat respon yang tak mengenakan, tapi mereka tahu, Leo bisa terhibur meskipun ternistakan seperti sekarang.
"Muka lo kayak tembok besar china, tapi jiwa lo kayak ulat bulu, Yo." Tambah Algan dengan tawanya.
Bahkan perbedaan karakter masing-masing hampir tidak bisa dibedakan karena kebersamaan mereka dengan waktu yang lama. Iya, mereka pernah merasakan awal perkenalan, mereka merasakan ketegangan, kecanggungan, ketakutan sama-sama. Dan, mereka juga pernah merasakan bahagia, sakit, juga kehilangan yang masih dilalui bersama. Benar kata mereka, bahwa mereka hidup untuk mati, bersama untuk abadi, berkumpul untuk harga mati, dan berdiri dalam solidaritas tanpa adanya akhir batas berhenti.
Tidak hanya anggotanya, tidak hanya intinya, tidak hanya ketua dan wakilnya. Sejatinya, perkumpulan mereka memang dibangun tinggi penuh tangguh dalam menjalani, mengabdi, serta menjunjung tinggi solidaritas serta kekeluargaan tanpa tahu apa itu kata berhenti. Keadilan selalu mereka nilai dengan harga mati, kebersamaan selalu mereka laksanakan tanpa mau menanti.
Dari mereka, ada yang berucap seperti ini. "Arka lihat! Perkumpulan lo yang terbangun tinggi penuh kedamaian serta solidaritas ini masih berjalan penuh dengan mantap hati. Nggak ada yang nyerah meskipun peluh buat kita ngeluh. Karena sampai kapanpun, perkumpulan terhormat kita ini selalu abadi dan berharga mati."
*****
TBC:)
THANK YOU FOR READING, JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN SEE YOU NEXT CHAPT!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT HIM : LEO DIRGAN FALANIO
Teen FictionPERHATIAN ⚠️⚠️⚠️ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA! BANYAK ADEGAN KEKERASAN! *** Kenyataannya, didikan keras dari orang tua juga sangat berdampak buruk terhadap karakter anaknya sendiri. Leo Dirgan Falanio, putra pertama yang terlahir di keluarga besar yang...