SELAMAT MEMBACAA, SEMOGA SUKA SELALU DENGAN CERITA VENZAROS YAAA, AAMIIN.
***
Kalau perjanjian bisa ditepati sekarang, kenapa harus nanti, besok, bahkan lusa? Tolong tepati dengan tulus, ada banyak orang yang menunggu.
***
"LEO! Jangan gegabah! Bisa fatal kamu!"
Tanpa berlama-lama sang kapten basket itu mendapat omelan dari Pak Dinarta. Namun bukannya merasa takut, cowok itu menjawabnya dengan santai setelah meneguk air mineral dinginnya sampai tandas.
"Tinggal satu poin menang pak. Tenang aja,"
"Lo jangan gampangin suatu hal! Bocah seenaknya sendiri lo!" Algan ikut mengomel. Membuat mereka tertawa karena jawaban dari Leo yang hanya terlihat tidak peduli.
Leo melihat jam pada layar ponselnya yang menunjukkan pukul 14.20. Sebentar lagi pertandingan akan selesai, dan nanti malam Leo akan pulang untuk memberikan kado kepada Zora, perempuannya. Memberikan pelukan kepada adiknya, dan memberikan kemenangan kepada keluarganya. Istirahat sepuluh menit terasa sangat lama karena Leo tidak sabar untuk segera pulang.
Poin mereka hanya selisih dua. Hanya tinggal mencetak skor sekali lagi sudah menunjukkan bahwa tim Leo menang.
"Jangan melamun, udah mulai!" Peringat Pak Dinarta.
Sebelum kembali menuju tengah lapangan lagi, mereka menumpukan tangan masing-masing seperti sebelumnya. Kembali membangun semangat yang beristirahat sebentar. Lantas mereka berlari bersama menuju ke tengah lapangan. Mulai memperebutkan bola dengan awal yang santai hingga pertengahan yang mulai memanas.
Memang benar, meskipun tinggal satu poin saja, rasanya untuk memasukkan bola ke dalam ring itu sangat sulit. Masing-masing pemain juga berkali-kali gagal memasukkanya ke dalam ring satu sama lain. Hal wajar akhir pertandingan memang biasanya tidak sabaran.
Brak!
"Lo jangan toxic bangsat!" Geram satu pemain dengan gigi rapat. Wajahnya merah padam sembari mencekal erat kaos jersey lawan.
Melihat itu Leo berdecak. Memisahkan satu timnya yang bersekutu dengan tim lawan lantaran perlakuan yang membahayakan dirinya. "Udah, biarin! Ayo!"
Pertandingan semakin memanas. Berkali-kali berganti dengan anggota cadangan karena merasa lelah dan sudah tidak kuat berebut lagi. Teriakan dari tribun perlahan mulai sepi karena merasa tegang. Tim yang saling berlawanan itu menatap sengit, tidak membiarkan siapapun menang dan mencetak poin. Detik akhir juga banyak sekali yang cidera, semakin lama pertandingan semakin tidak sehat.
"Fed up!" Geram Leo dengan rahang mengeras. Ia berlari untuk kembali fokus merebut bola meskipun ia sudah merasa berbeda dengan lututnya. Ia rasa bekas cidera dilututnya lebam, sedikit nyeri jika dibuat untuk menahan beban tubuhnya.
Berkali-kali Leo menggiring bola, tetapi kerap kali juga berhasil direbut oleh lawan. Bahkan Leo mengumpat keras, tidak peduli dengan para guru yang menontonnya. Kali ini Leo benar-benar tidak sabaran. Ditambah emosinya semakin berkobar kala lututnya kembali menimbulkan reaksi ngilu yang berlebihan. Matanya menatap tajam ke mana arah bola itu bergerak.
Pada menit ke tujuh sebelum waktu habis, ia berteriak kepada salah satu anggotanya yang sedang bingung mempertahankan bola. Leo membuat persiapan yang sangat matang. Dan, "RAFA! LEMPAR KE ARAH JAM DUA!"
Bug!
Bola tertangkap berkat Rafa yang mendengar teriakan sang kapten. Waktu sudah terhitung dua menit lagi sebelum pertandingan benar-benar usai. Leo tidak mau ada kata seri dari kedua tim, dengan keras Leo berlari. Menghindari serangan balik lawan dan melompat setinggi-tingginya dengan bertopang lutut yang nyaris remuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT HIM : LEO DIRGAN FALANIO
Ficção AdolescentePERHATIAN ⚠️⚠️⚠️ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA! BANYAK ADEGAN KEKERASAN! *** Kenyataannya, didikan keras dari orang tua juga sangat berdampak buruk terhadap karakter anaknya sendiri. Leo Dirgan Falanio, putra pertama yang terlahir di keluarga besar yang...