"Kamu kenapa murung sih Nduk?" tanya Umi, nenek Anggun seraya meletakkan piring berisi pisang goreng yang baru saja matang di atas meja.
"Biasa Nek, gegana -- gelisah galau merana!" jawab Anggun dengan asal. Pasalnya Anggun sedang dirundung rasa kesepian yang tak berkesudahan. Ke mana lagi ia harus mengadu apa yang dirasakannya selain kepada neneknya. Satu-satunya orang yang selama ini paling memahami dirinya.
Anggun benar-benar sudah tidak betah tinggal di rumahnya. Ia muak karena harus selalu menyaksikan kebersamaan papa dan ibu sambungnya yang saat ini tengah mengandung. Di mata Anggun perempuan itu hanya bersandiwara dengan berpura-pura sakit sehingga membuat waktu dan pikiran papanya hanya terpusat padanya. Anggun ingin pergi dari rumah tapi ia juga malas berdebat dengan papanya. Lalu, tadi sepulang sekolah Anggun menghubungi Zulia, mama kandungnya. Anggun ingin meminta izin untuk tinggal bersama perempuan yang telah melahirkan dirinya tersebut, tapi kesialan sepertinya telah berteman dengan Anggun, mamanya ternyata sedang perjalanan dinas ke luar kota, dan baru bisa menemuinya lusa sore.
Alhasil di rumah tua dan sederhana milik Umi kini Anggun berada. Hanya kepada perempuan tua itulah tempatnya pulang dan mengadu. Seseorang yang selalu setia mendengarkan segala keluh kesahnya. Sejujurnya Anggun juga merasa tidak tega jika terus-terusan merepotkan neneknya yang selama ini hidup sendirian. Sebenarnya bukan sendiri dalam artian sebatang kara bukan. Tapi memang perempuan itu tidak pernah mau meninggalkan rumahnya untuk tinggal bersama anak-anaknya yang kini telah memiliki keluarga masing-masing. Untungnya ada salah satu anaknya yang mendirikan rumah di samping rumah Umi, nenek Anggun.
Sebagai anak sulung Akmal papa Anggun sebenarnya sudah berulang kali mengajak Umi untuk tinggal bersama. Tapi Umi selalu menolak, tidak mau meninggalkan rumah peninggalan almarhum suaminya. Jadilah, Ana adik kandung Akmal yang mengalah dengan membangun rumah di samping rumah Umi agar bisa selalu mengawasi dan merawat perempuan tersebut.
"Kamu ini bisa aja Nduk!" kekeh Umi seraya duduk di kursi rotan sebelah Anggun.
"Masih muda itu yang semangat. Jangan galau-galau!" sambung Umi seraya membelai rambut cucunya. "Sekarang katakan ada masalah apalagi? Jangan bilang lagi marahan sama Papa dan Mama kamu?" tebak Umi sambil tersenyum. Apalagi yang dikeluhkan cucunya selain masalah kedua orang tuanya.
Perpisahan antara Akmal dan Zulia memang memberikan trauma tersendiri bagi cucunya. Umi sendiri tidak bisa mencegah saat anak dan menantunya memutuskan untuk bercerai dengan alasan ketidakcocokan. Umi pun merasa kecewa karena dengan perceraian tersebut Anggun lah yang paling mendapatkan dampak besar. Sebenarnya Intan ibu tiri Anggun adalah perempuan pilihan neneknya. Umi lah yang menjodohkan Akmal dan Intan, dan itu semua Umi lakukan demi cucunya. Tapi ternyata Anggun tetap saja tidak mau menerima kehadiran Intan sebagai ibu sambung.
"Mama sekarang sibuk terus Nek. Sekarang telpon aja seminggu sekali, kadang malah nggak telpon sama sekali, Anggun kan kangen!" jujur Anggun dengan mata mulai berkaca-kaca. Ia sangat merindukan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua.
Sebenarnya Anggun bingung dengan dirinya sendiri. Tinggal bersama papa dan mama tirinya tidak betah, tinggal bersama mama dan ayah tirinya pun merasa tidak nyaman. Anggun merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak sambung mamanya yang seumuran dengannya. Setiap bertemu mereka selalu saling memberikan tatapan permusuhan. Faktanya mereka berdua memang sama-sama korban dari keegoisan orang tua. Anak korban dari perceraian orang tua mereka.
"Mama kamu memang sibuk Sayang. Lagian kan sudah ada Mama Intan di rumah," sahut Umi dengan lembut.
Anggun berdecak, lantas menatap Umi dalam, menyiratkan kesedihan yang mendalam. Namun begitu, Umi tetap bersikap tenang dan tersenyum. Mencoba menghibur cucu kesayangannya.
"Males ah. Tante Intan sekarang itu makin jadi Nek. Manjanya subhanallah. Dikit-dikit ngeluh pusing lah, mual lah, capek lah. Pokoknya ada aja keluhannya tiap hari. Papa juga sekarang lebay banget. Sok sibuk perhatian sama bini mudanya sampe lupa klo punya anak perawan yang butuh kasih sayang," papar Anggun dengan panjang lebar yang membuat tawa Umi berderai.
"Kenapa kamu tidak mencoba lebih dekat atau berteman dengan Mama Intan?" ujar Umi lalu mengambil satu potong pisang goreng yang masih hangat untuk diberikan kepada cucunya.
Anggun lantas menerima pisang goreng tersebut dan memakannya. "Ogah Nek. Tante Intan itu lebay bin alay. Males banget, sumpah. Mana sok alim, sok lembut, sok rajin, pokoknya sok-sokan lah!" kesal Anggun dengan satu alasan pasti, yakni menganggap perempuan itu menjadi perusak rencana dirinya untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya, walaupun Anggun sadar jika sebelum Intan datang pun mama kandungnya sudah memiliki keluarga baru.
"Kamu ini bisa aja Nduk Nduk!" sahut Umi di sisa tawanya seraya menatap wajah cucunya yang cemberut.
Tiba-tiba terlintas di benak Umi untuk menyampaikan keinginannya kepada cucunya tersebut. Umi yakin apa yang telah diputuskannya adalah yang terbaik untuk masa depan Anggun. Cucunya tersebut membutuhkan seseorang yang dewasa dan mampu membimbingnya. Umi khawatir nasib Anggun jika sewaktu-waktu Tuhan memanggilnya. Umi ingin sebelum waktu itu tiba ia bisa melihat Anggun bersama orang yang tepat. Seseorang yang mampu menjaga Anggun dengan baik.
"Eh Nduk, kamu ingat Nenek Sofia? Teman Nenek yang dulu sering ke sini?" tanya Umi dengan senyuman lebar.
"Iya ingat. Kenapa Nek? Ada apa dengan Nenek Sofia?" balas Anggun seraya menatap neneknya yang terlihat bersemangat.
Umi meraih jemari Anggun, membawanya ke pangkuan lalu kembali berbicara, "Nenek ingin mengenalkan kamu kepada cucu Nenek Sofia."
Anggun tersenyum tipis, tak mengerti ke mana arah pembicaraan neneknya. "Kenalan ya tinggal kenalan aja kan Nek?" jawab Anggun dengan santai.
"Baguslah klo kamu mau. Nanti Nenek atur dulu waktunya," sahut Umi dengan senyuman merekah. Umi kira akan sulit membujuk Anggun untuk berkenalan dengan cucu sahabatnya.
"Oya Nek setelah Ujian Akhir Sekolah Anggun tinggal di sini ya? Nemenin Nenek," ungkap Anggun. Sebenarnya sudah lama ia ingin tinggal bersama neneknya tapi perempuan itu yang justru menolak untuk ditemani.
"Tentu saja Nduk. Tapi kamu harus minta izin papa kamu dulu!" peringat Umi dengan serius.
Bukannya Umi tidak senang Anggun tinggal bersamanya. Tapi Umi ingin Anggun bisa lebih dekat dengan ibu sambungnya dan segera bisa menerima perceraian kedua orang tuanya. Waktu dua tahun tidak cukup juga bagi Anggun mengerti masalah kedua orang tuanya yang tidak mungkin bisa kembali bersama seperti dulu. Anggun masih saja menyimpan harapan mustahil tersebut. Umi sendiri selalu menasehati Anggun untuk tidak memikirkan kedua orang tuanya lagi dan lebih fokus pada pendidikannya.
Anggun berdecak kesal karena mendapatkan jawaban yang tak diharapkannya. Sudah berulang kali Anggun menyampaikan keinginannya untuk tinggal bersama Umi tapi papanya selalu menolak. Anggun hanya boleh berkunjung atau menginap di rumah neneknya hanya ketika libur sekolah saja.
Ide gila tiba-tiba saja melintas di benak Anggun. Sebuah ide untuk membebaskan diri dari jeratan papanya. Anggun tersenyum penuh arti lantas berkata-kata, "Nek, gimana klo Anggun nikah aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Guru BK
RomanceBlurb "Pak Bapak jangan galak-galak kenapa? nanti gantengnya luntur loh!" ucap Anggun dengan santainya kepada guru BK di hadapannya tersebut. "Nggak papa luntur wong saya udah punya calon istri kok," balas Arjuna dengan tatapan tak terbaca. "Hahah...