Srek!
Aku buru-buru bangkit dari posisi berbaring. Bahkan, aku saja baru sadar kalau tadi berbaring. Aku menoleh ke arah jendela. Mendapati Kak Auston sedang menyingkap gorden jendela.
Cahaya terang meyeruak masuk memenuhi kamar. Silau. Kak Auston menatapku sambil berkacak pinggang. “Mau bangun jam berapa? Ini udah siang.”
Aku mendengus pelan. Baru juga bangun sudah kena damprat. “Iya.” Kusingkap selimut biru yang menutupi tubuh. Mendadak, aku teringat kejadian semalam. Bukankah aku ada di sofa? Lalu kenapa ada di kamar?
Ingatanku berputar kembali. Semalam, Mia pergi membeli sate di depan komplek. Lalu bum! Mati lampu. Dan, hantu itu muncul lagi! Dia juga menunjukkan seringai menakutkan. Tapi bukankah aku pingsan di depan televisi? Lalu, sentuhan dingin yang sempat kurasakan itu, apa?
“Kak...,”
Kak Auston yang sedang merecoki meja belajarku—sepertinya sedang mencari surat cinta yang mungkin aku sembunyikan atau semacamnya seperti zaman SMP dulu—lalu menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”
“Kakak yang gendong aku semalem?”
Kak Auston mendengus. “Ya, terus siapa? Mia? Mana kuat dia gendong kamu. Badan berat begitu, besok diet.”
Kejam sekali. Ini masih pagi dan mood-ku mendadak kecut. “Kakak pulang jam berapa semalem?”
“Jam delapan lewat tapi kamu udah tidur. Padahal kakak udah chat kamu minta dibikinin teh.”
“Kenapa gak minta dibikinin, Mia?”
Kak Auston berdecak. “Kapok. Terakhir kali, kakak minum bikinan Mia, itu teh rasanya kayak sianida.”
Aku memasang wajah datar. “Emang, kakak pernah minum sianida?”
Kak Auston memiringkan bibir. “Pokoknya rasanya kayak racun. Mosok itu kopi rasanya asin. Dikira mau ngeringin ikan asin, kali.”
“Ya, dia Cuma salah masukin garem doang, Kak.”
“Sama aja!” Aku meringis pelan. Membenarkan ucapan Kak Auston dalam hati. Memang, dulu dia pernah meminta Mia membuatkannya teh.
Waktu itu Mia dengan bangganya memamerkan teh hasil buatannya. Tepat saat Kak Auston menyeruput teh itu, mendadak dia menyemburkannya kembali. Kak Auston bilang rasanya asin kayak ikan asin. Sementara Mia sang tersangka, hanya mengedikkan bahu polos tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Aku langsung menariknya menuju TKP. Cek diricek. Ternyata benar dugaanku. Anak itu bukan memasukkan gula tapi garam. Heran aku. Masa iya, dia tidak bisa membedakan mana gula mana garam. Padahal bentuknya saja sudah jelas beda.
Akhirnya, setelah insiden itu, aku menempelkan kertas bertuliskan ‘Garam’ dan ‘Gula’ di masing-masing toples kecil itu.
“Ya, maap, Kak. Semalem aku gak tau kalo kakak chat. Mati lampu soalnya.”
Kak Auston mengernyit heran. “Jam berapa?”
Aku memiringkan bibir berusaha mengingat. “Sekitar jam delapan.”
Kernyitan di kening Kak Auston makin berlipat. “Dimana yang mati lampu? Itu jalanan komplek terang benderang ya, apalagi rumah kita. Kamu mau bikin tagihan listrik, kakak bengkak, ya?”
“Hah?” aku melongo terkejut. Bisa-bisanya lelaki ini menuduhku begitu. Dan apa katanya tadi? Terang benderang? Hellooo, mana yang terang? Jelas-jelas mati lampu semalam! “Kak...,”
“Apa? Kamu mau satenya? Udah abis semalem. Maap, loh.”
Kurang ajar! Sungguh sebuah fakta yang cukup menyebalkan.
“Mona, mending kamu mandi sekarang, deh.”
Aku mengerucutkan bibir sebal. Memalingkan wajah ke arah lain. Ceritanya merajuk. Mungkin saja Kak Auston luluh.
“Mona, kakak serius.”
Aku tetap diam seperti tadi. Oke, sebentar lagi pasti lelaki ini pasti luluh.
“Kakak tunggu di meja makan. Sepuluh menit belum muncul juga, kakak tinggal kamu.”
***
Maaf, dihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan 🌱

KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orangtuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo, apalagi memiliki kemampuan semacam sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat 'dia', hant...