“Akhirnya kamu sadar juga.”
Kalimat pertama yang tertangkap oleh telingaku. Aku mengerjap saat melihat Kak Auston dan Mia menatap khawatir. Haruskah aku mengatakan ini, tumben sekali mereka perhatian? Biasanya acuh saja.
“Kamu ngapain tidur di depan pintu, sih?”
Aku menganga. Kapan aku tidur di depan pintu?
“Ya ampun, Kak Mona..., aku tau kalo kasur kita itu keras kayak ranjang rumah sakit, tapi, ya gak usah tidur di lantai juga dong.”
Mulutku makin menganga lebar. Sebenarnya mereka ini bilang apa? Aku tidak yakin kalau Mia menyinggung masalah kasur kami yang bak ranjang rumah sakit itu, Kak Auston akan menggantinya dengan yang baru. Itu mustahil. Amat sangat.
“Kakak tadi kaget waktu denger kamu teriak. Terus kakak buru-buru lari ke sini, tapi kamu malah tidur di lantai.”
Kepalaku secara otomatis memutar kejadian tadi. Dan yup! Aku baru ingat! Gara-gara hantu itu menahan pintu, aku jadi terkejut dan refleks berteriak. Tapi aku tidak yakin kalau tidur, sepertinya aku pingsan lagi.
“Mona, malah ngelamun.”
Aku mengerjap. “Kak, aku tadi liat hantu itu lagi.” Kata-kata itu spontan meluncur dari bibirku. Membuat ekspresi kedua manusia itu mendadak parno.
Terlebih lagi Mia. Dia tahu-tahu saja sudah menempel padaku. “Kak, serius ada hantu? Kok, kakak gak pernah bilang, sih?”
Aku mengkerut begitu merasakan hawa menyeramkan dari Kak Auston. Mati aku! “E-eh, maksudnya kakak juga baru liat kok.”
Mia mengerjap ragu. “Serius? Tapi tadi kakak bilang lihat lagi. La-gi.”
Haduh! Alamat aku kena damprat Kak Auston.
“Hantu itu gak ada. Kalian kenapa suka banget ngomongin hantu-hantuan, sih?”
Aku langsung bungkam saat kata-kata keramat Kak Auston keluar. Aku menunduk. Bayangan hantu itu mendadak muncul di kepala. Hantu yang suka muncul secara tiba tiba di depanku. Kapanpun dan di manapun. Hantu yang selalu tersenyum dan bicara padaku. Hantu yang selalu membuat tubuhku meremang.
Pelan, titik air mata merembes keluar. Aku tidak yakin jika ini terus terjadi, aku akan strong-strong saja. Aku tak sanggup jika hal ini terus terjadi. Aku tak ingin hantu itu terus muncul. Bahuku bergetar menahan isak.
“Kak Mona kenapa nangis? Waah..., ini pasti gara-gara Kak Auston.”
Tuduhan Mia membuat sang tersangka berdehem canggung. “Ya maaf. Kakak, kan gak maksud gitu.”
Aku diam. Belum ingin mengangkat kepala untuk melihat mereka berdua.
“Mona, kakak minta maaf.”
Aku masih diam. Biar saja. Biar dia sadar kalau dirinya itu sama menyebalkannya dengan si hantu bule. Lalu decakan gemas lelaki itu terdengar.
“Oke, oke! Kamu minta apa? Kakak kasih, deh.”
“Serius?” aku belum mengangkat kepala.
“Iya.”
Perlahan aku tersenyum. Kuangkat kepala perlahan. “Kalo gitu, panggilin orang pintar ke rumah kita.”

KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orangtuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo, apalagi memiliki kemampuan semacam sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat 'dia', hant...