Ini kali kelima Joe mengunjungi rumah sakit yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah Mona. Ia mengintip salah satu kamar rawat dari atas pohon tempatnya berdiri saat ini.
Kamar sama yang selalu dikunjunginya sekitar dua bulanan ini. Bukan karena kamarnya yang bagus, tapi karena penghuni kamar itu yang membuatnya tertarik untuk terus mengunjunginya.
Seperti saat ini misalnya, ia melihat penghuni itu sedang duduk memperhatikan seorang lelaki di hadapannya yang terbaring dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Matanya menatap sendu ke arah tubuh itu.
Mengangguk mantap, Joe memutuskan turun dan menemuinya seperti biasa. Begitu di dalam, sapaan sosok itu membuat Joe terkejut sesaat.
“Kamu ke sini lagi?”
Joe mengangguk dan mendekati sosok itu. Sejenak ia melirik sosok di sebelahnya lalu beralih pada tubuh yang terbaring lemah di hadapannya. Wajah mereka sama. Saat pertama bertemu, ia terkejut saat tahu kalau mereka kembar. Namun ternyata dugaannya salah besar. Sosok ini adalah arwah dari tubuh itu. Lelaki itu sudah koma untuk waktu yang cukup lama. Selama dua tahun.
“Gimana, Joe?”
Joe menoleh dengan tatapan bertanya. “Maksudnya?”
Sosok itu menghela nafas pelan. “Kamu bilang ingin reinkarnasi, kan? Dan aku serius memberikan ragaku untukmu.”
Joe kembali memalingkan wajahnya pada sosok lemah di hadapannya. Sudah hampir dua bulan lamanya ia memikirkan ini. Sebenarnya ia memang ingin reinkarnasi. Tapi untuk melakukan hal semacam itu, pasti akan ada banyak kesulitan yang dihadapinya, seperti syarat dan peraturan yang tentunya tidak mudah.
Apalagi ia ingin bereinkarnasi dengan manusia yang seharusnya hanya koma dan entah kapan akan bangun kembali. Ini benar-benar harus dipikirkan masak-masak. Entah apa konsekuensi kedepannya nanti.
“Tapi..., aku masih agak ragu, Naven.”
Ia menatap sendu lelaki itu yang dibalas dengan senyum kecilnya. “Aku sudah sangat yakin dengan ini, Joe.” Lelaki itu menatap dirinya yang terbaring koma di atas kasur itu. “Sejak kecil, aku selalu sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa. Mana aku penyakitan pula, tidak ada yang mengurusku selain ibu panti.”
Joe diam. Lima kali mengunjungi Naven, ia tahu kalau lelaki itu merasa sangat pesimis dengan hidupnya yang menyedihkan. Lelaki itu kesepian dan sudah bosan untuk hidup di dunia. Katanya, lelaki itu ingin menyusul orangtuanya yang sudah lebih dulu pergi ke atas.
Saat kecelakaan yang menimpa dirinya dua tahun lalu hingga membuatnya koma selama ini, pupus sudah harapannya untuk menyambung hidup.
Pernahkah kalian dengar jika ada orang yang koma, maka ia akan bangun dengan sendirinya jika orang tersebut memang ingin segera bangun? Nyatanya tak sepenuhnya salah. Naven ini contohnya. Lelaki itu sebenarnya bisa bangun kapan saja, tapi dirinya sendiri yang memutuskan untuk tidak bangun hingga dua tahun terlewat sudah.
“Kalau kamu bertukar denganku, maka kamu yang akan pergi.”
Ucapannya itu dibalas anggukan ringan oleh Naven. “Aku tahu, kan memang itu alasannya,” hening sejenak sebelum Naven melanjutkan. “Aku bersungguh-sungguh saat bilang ingin bertukar denganmu. Aku ingin pergi, dan kamu ingin hidup. Maka kita bertukar, bukankah itu penawaran yang cukup menguntungkan?”
Joe tak langsung menjawab. Ia memikirkan banyak hal. Seolah tahu apa sedang dipikirkan Joe, Naven mencoba untuk mengurainya. “Saat kita berhasil nanti, kamu bisa memulai kembali semuanya dari awal. Identitasmu. Semuanya. Kamu bebas melakukannya sesukamu.”
Terdengar cukup menggiurkan di telinga memang. Tunggu dulu, tapi itu semua tak mungkin semudah kedengarannya bukan? Naven mudah saja mengatakan itu, karena dia yang akan pergi. Sedangkan sisanya, tentu saja Joe yang harus mengurus. Memulai semua dari awal dengan identitas yang baru, tentu tak akan mudah.
Apalagi Naven bukan manusia goa atau Rapunzel yang terkurung dalam kastil. Lelaki itu pasti cukup dikenal oleh orang-orang—yang mengenalnya—dan teman-temannya.
“Teman-temanmu bagaimana? Lalu, kafe milikmu?”
Naven tersenyum ringan. “Temanku tidak banyak. Lagipula kafe itu juga sudah hampir bangkrut,” ia melirik Joe yang masih menatapnya. “Nanti kafe itu akan jadi milikmu, terserah mau diapakan.”
Sejenak, Joe memalingkan wajah dan mencoba berpikir jernih. Ia memang sering meninggalkan rumah Mona dan berkeliling tak tentu arah. Tapi saat ia menemukan rumah sakit dan berkenalan dengan Naven yang seolah hidupnya hanya membawa kesialan untuk dirinya sendiri itu, ia memutuskan untuk reinkarnasi.
Lagipula, bukankah setiap makhluk memiliki kesempatan untuk reinkarnasi. Tak ada salahnya ia mencoba.
“Tapi bisakah aku reinkarnasi? Aku..., sudah hidup sangat lamaaaaa sekali, bahkan sebelum kakekmu lahir,” Joe mengedik kecil. “Mungkin.”
Naven mengangguk enteng. “Kenapa tidak? Semua makhluk memiliki kesempatan untuk reinkarnasi bukan? Lagipula aku tampan, kamu tidak akan menyesal bertukar denganku.”
Joe mengerutkan hidung. Lelaki itu terlalu percaya diri. Mengabaikan kata-kata terkahir Naven, Joe kembali menjawab. “Hem..., aku tahu. Tapi bukannya, setiap reinkarnasi dimulai kembali dari nol? Maksudnya, reinkarnasi itu bukankah lahir kembali? Berarti dari bayi, kan?”
Naven terkekeh sejenak. “Mungkin saja. Tapi kali ini, kita juga bisa memulai reinkarnasi saat sudah dewasa. Seperti yang sering ada di komik-komik itu, lho.”
“Ung...,” Joe mendengung. “Aku tidak yakin. Benarkah bisa?”
“Tentu saja bisa.” Naven menatapnya jenaka. “Lagipula ini cerita fantasi. Kalau tidak bisa, nanti penulisnya pening dan ceritanya tidak akan berlanjut karena kehabisan ide.”
Sejenak, Joe kembali mengerutkan hidung. “Hm..., benar juga.” Kemudian hening kembali.
Naven menghela nafas bosan. “Oh ayolah..., biaya rumah sakit tidak murah tahu. Apalagi untuk kafeku yang hampir bangkrut. Aku tidak yakin apa jantungmu masih bagus saat melihat tagihannya nanti.”
Joe terkikik sejenak lalu berujar mantap. “Okelah.” Lalu disambung oleh keduanya yang saling berjabat tangan.
***
Dan pagi berikutnya, saat Joe perlahan membuka mata dan mencoba menggerakan jemarinya yang terasa berat, saat itulah dirinya mendengar seorang wanita yang tiba-tiba saja menjerit kencang di dekatnya.
“Dokteeeer!! Pasiennya bangun, dooook!!!”
Teriakan itu membuat telinganya berdenging nyaring. Maniknya menatap langit-langit putih rumah sakit dan seulas senyum tipis perlahan terpatri di sana. Dalam hati ia bergumam lega.
Well, hello world... I’m back.
👻👻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...