Buk!
Dukk!!
Brukk!!
“Aww!!!”
“Aduh! Aduh! Ampuuun! Saya kapooook!!!”
Mendengar suara gedubrak rusuh dari dalam disertai suara pekikkan dari Mbah Ker, membuat kami bertiga semakin membelalak.
Brukk!!!
Mbah Ker tiba-tiba jatuh terjerembab di depan kami yang sedari tadi menunggu di depan pintu. Kalau kata Mas Sugeng, itu namanya nyungsep. Kak Auston dengan sigap membantu Mbah Ker untuk berdiri.
“Gimana, Mbah?”
Mbah Ker kurasa tidak mendengarkan pertanyaan Kak Auston. Buktinya, matanya bergerak liar ke sana kemari. Wajahnya pucat dan kelihatan parno begitu. Aku jadi waswas kalau saja Mbah Ker justru kerasukan hantu di dalam tadi.
Waduh. Itu bisa gawat. Kalau pawangnya hantu saja kerasukan, bagaimana dengan nasib kami yang zero masalah perhantuan ini? Siapa yang bisa menyadarkan Mbah Ker nanti?
“S-setan...,”
Kami terkejut tentu saja. Apalagi kata itu keluar dari Mbah Ker yang sedari tadi hanya diam. Padahal kata Kak Auston, Mbah Ker ini jago sekali masalah hantu. Cih, apanya. Keraguanku terbukti sudah. Dukun ini pasti kalah dengan hantu bule itu.
“Kenapa sama hantunya, Mbah? Udah pergi, kan hantunya?”
Mbah Ker malah semakin ketakutan saat Kak Auston menyebut-nyebut tentang hantu itu lagi.
“M-mona?”
Hah? Aku kontan menoleh saat Mbah Ker menyebut namaku pelan. Ekspresinya masih ketakutan.
“Saya, Mbah?” Aku menunjuk diri sendiri.
Entah kenapa, Mbah Ker tiba-tiba melotot melihatku dan langsung mundur. Dalam sekejap, dia lantas berlari menjauhi rumah kami sambil berteriak nyaring. Aku sampai waswas kalau-kalau ada tetangga yang mendengarnya.
“Aaaa!!! Saya kapoook!! Jangan panggil saya ke sini lagiii!!”
Kami bertiga dibuat terperangah di tempat. Apalagi saat mendengar teriakan Mbah Ker. Aku tidak percaya apa yang sudah hantu itu perbuat sampai-sampai membuat simbah itu lari tunggang-langgang.
Aku menelan ludah gugup. Kulirik Kak Auston yang mematung di sebelahku. “Kak, terus gimana?”
Kak Auston dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi datar. Melupakan kalau dia tadi juga ketakutan setengah mati. Maniknya menatapku lekat. “Kenapa tanya, kakak?”
“Lha, yang bawa dukun itu, kan, kakak. Jadi kakak yang harus tanggung jawab.”
“Dukun itu bayarnya murah. Kalo paranormal, kan mahal.”
Gubrak! Aku sudah perkirakan ini sebelumnya. Pantas saja. Sejak kapan juga Kak Auston yang pelitnya naudzubillah itu mendadak murah hati dengan memanggil dukun ke sini.
“Kakak juga kenapa malah manggil dukun?”
Aku mengangguki pertanyaan Mia.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orangtuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo, apalagi memiliki kemampuan semacam sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat 'dia', hant...