"Ash-shalaatu khairum minan-nauum."
Dengan wajah nampak kusut, serta mata sayu, Ecan terbangun sembari menggosok kedua matanya. Dia masih belum sepenuhnya sadar. Pemuda itu terbangun sebab mendengar suara adzan subuh sedang berkumandang. Sudah sepatutnya, Ecan harus bangun, mau nggak mau, harus dipaksakan. Karena suara adzan ialah pertanda bahwa panggilan Allah untuk segera menunaikan ibadah salat.
Dan juga, selang-seling sahutan ayam pun bermunculan yang tentunya bersumber dari tetangga sebelah. Ecan yakin, itu ayam punyanya Mang Udin. Entah sudah berapa ayam yang dimiliki Mang Udin. Coba aja kalau mau masuk rumahnya Mang Udin. Dijamin, isinya berasa kos-kosan ayam.
Beberapa menit setelahnya, Ecan terpaksa bangkit dengan langkah gontai. Menapakkan kedua kakinya di lantai keramik yang terasa dingin. Mata sayu jelas terlihat di sana. Berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Membangunkan jiwa anak-anak yang masih terlelap di alam mimpi.
Satu per satu kamar, Ecan datangi sambil mengetuk berkali-kali. Sesekali ia kedapatan tengah menguap panjang. "Ayo semuanya bangun, bangun. Subuh, subuh. Kalo nggak bangun, gue ceritain sesuatu, keinget ada salah satu surah yang menjelaskan bahwasannya—"
"IYAAA IYAAA BANGUN, PUAS?"
Ecan yang menunggu dari luar cuma ketawa ketiwi doang mendengar protesan teman kosnya. "Jan lupa wudu. Habis ini, kita berangkat bareng ke masjid, ye?"
"Iyeee."
Sebenernya, mereka tuh nggak pernah sekalipun molor bangun. Baru-baru ini aja ke ulang lagi kejadian bangun molor. Pernah sih, molornya gara-gara begadang. Main kartu UNO bareng-bareng sampai lupa jam waktu tidur.
Soalnya, mereka sebelum menempati isi kos, sebelumnya saling diskusi di meja bundar. Nah, maka dari itu ada salah satu dari diantaranya mengusulkan untuk membuat peraturan agar tertib, bisa saling menghormati antar sesama. Jadilah, mereka sepakat untuk diskusi, lalu pemungutan suara alias voting, dan terakhir musyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Kejadian bangun molor kemarin, disebabkan kedatangan Injun, Kevin, dan Icung bawa indomie sama nasgor. Jelasnya, mereka makan bareng sampai habis. Bahkan bekas piring kemarin belum dicuci. Dibiarin gitu aja numpuk menggunung.
"Ready?"
"Yoiii pabos."
Ketika Ecan lihat anak-anak sudah rapi, saatnya melangsungkan salat subuh ke masjid. Demi mengurangi polusi udara, dan menghemat bensin, mereka berinisiatif menempuhnya hanya jalan kaki. Selain sehat bagi kesehatan, mereka juga ingin lebih sering bersosialisasi dengan orang-orang yang berlalu lalang saat itu. Untung, perjalanannya juga tidak jauh dari tempat tinggal.
Imam salat subuh hari ini adalah Pak Cahyono. Beliau menjabat sebagai kepala desa di lingkungannya. Kata kebanyakan orang, wajah pak kades memiliki paras rupawan iya, cakep juga. Itu pas jamannya masih bujangan. Kalau sekarang mah lain, sudah beda dari yang dulu. Yah, dikarenakan faktor usianya. Semakin berkurangnya usia, semakin pula berkurangnya aktivitas.
Belum lagi anak jantannya, keturunan dari Pak Cahyono emang nggak main-main. Pak Cahyono tuh sayang banget sama anak jantannya. Kalau ditanya, Pak Cahyono punya anak berapa. Beliau cuma punya anak laki satu-satunya, anak laki itu, anak kebanggaannya.
Subuh baru beberapa menit berlalu. Kabut putih belum sepenuhnya menghilang. Jendela masjid sengaja dibiarkan terbuka. Supaya siklus pergantian udara bisa masuk ke dalam ruangan.
"Sandal swallow gue mana yak."
Baru juga pengen pulang, malah kasus sandal hilang. Sungguh nasib malang.
"Hayo ngaku, siapa yang ngumpetin sandalnya Injun."
"Sandal oh sandal, kemana engkau hilang."
"Macam mana aku tak hilang, tak dapatlah pulang. Tak dapatlah pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmindo Doremi | NCT Dream ✓
FanfictionNgabuburit bareng pacar? Sori-sori jek, kita lebih pilih minum kopi sambil nunggu azan maghrib. Alias, puasa setengah hari. [edisi ramadan] © nanaaheng | march 23, 2023 bahasa non-baku, tw // harshword