Ada beberapa alasan yang mungkin membuat Injun untuk nggak mudik dulu. Pertama, dia mau silahturahmi ke rumah Pakdhenya. Kedua, karena sekarang arus mudik agak padat jadi Injun putuskan mudiknya di hari kedua, seperti apa yang dia bilang waktu lalu.
Sekarang Injun sedang berada di kosan. Dia nongkrong di atas, ditemani radio Jono yang sengaja dia nyalakan buat menemani kesepiannya. Sebenarnya, Injun nggak bener-bener kesepian banget kok. Di kosan cuma ada keberadaan Injun dan Nana doang. Sisanya mudik.
Kalau Nana sendiri itu mudiknya pas setelah salat Id, baru lah dia mudik. Sekalian juga mampir barengan ke rumah Pak Cahyono, soalnya nggak enak aja gitu. Gara-gara minggu-minggu kemarin habis menggibahi Injun salfok manggil dengan sebutan Pakdhe.
Dia tahu diceritain Kevin, diam-diam bilangnya.
Seingat Injun saat masa kecilnya, setiap malam terakhir puasa biasanya di halaman rumahnya, selalu ada orang keliling memeriahkan takbiran. Sebab bulan Ramadan telah berakhir dan menyambut hari selanjutnya yang artinya Hari Raya Idul Fitri.
Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa ikut serta berkeliling. Entah itu ada yang bawa obor, bawa bedug, bawa galon bekas, bawa kentongan, dan hal yang nggak boleh terlewatkan suara gema takbir memenuhi sepanjang jalan.
Bahkan takbir keliling sendiri awalnya dipimpin oleh mobil bak terbuka mengusung sound sistem, yang suaranya menggelegar menyertai lantunan takbir dilengkapi kerlap kerlip lampu diskonya.
Apalagi suara kembang api yang kelihatan warna-warni di malam hari, pokoknya meriah banget. Injun lagi-lagi merasa deja vu sama kampung halamannya.
"Injuuuunn, cepetan turun sini. Ada rombongan takbir keliling."
Nana capek dari tadi panggil Injun bolak-balik tapi dia nggak noleh. Injun ini pura-pura budeg apa gimana.
"Temen kakak ndak mau ya diajak main petasan?" Tanya satu bocah kompleks yang tingginya hampir menyentuh pusar Nana.
Nana menggeleng. "Kita main bareng—EEHHHH. Tuh tuh coba kamu liat dari jauh mulai kelihatan rombongan takbir kelilingnya."
"Wooaaaahh, rame bangeeettt. Kuy Kak ikutan bareng-bareng!"
"Kakak nggak bisa ikut, sayang. Kasian temen Kakak sendirian di atas. Gih sana sama temen kamu, udah ditungguin." Nana menyentuh sambil elus-elus sayang kepala bocil kompleks. Senyumnya aduh, adem banget kalau dilihat-lihat. Ibu-ibu yang lagi ngawasin anaknya lagi main sama Nana cuma baper doang.
Masyaallah cakep tenan iki bocah e. Awakdhewe meh naksir, luwih ganteng bujang iki timbang bojoku dewe. Opo maneh anak wadonku sing paling ayu dewe nek delo arek iku, koyoke iso iso melu naksir pisan.
Buk, jodohin aja atuh sama anaknya. Keburu nggak laku perawan tua. Apa kata orang nanti.
Ucapan Yuk Lastri ada betulnya juga. Jodohin langsung, Buk. Bawa ke KUA sekalian. Anak Bu Wendy udah punya pacar belum?
Sudah biasa, lambe nya ibu-ibu kalau ngomong nggak bisa dikondisikan. Asal ngomong ceplas-ceplos, seni gibahnya mulai mode aktif. Nana yang sengaja dengerin lambe ibu-ibu itu cuma senyumin aja lah.
"Apa betul Ibu punya anak cewek? Pendengaran saya tidak salah, 'kan?"
Ibu-ibu langsung heboh teriak-teriak mirip kucing betina ketika masa kawin. Demen banget, heran.
Nana senyum dikit.
Bu Wendy berlagak malu-malu kambing. "Aduh jadi malu, iya betul saya punya anak cewek. Umur anak saya dengan umur kamu nggak beda jauh, sama-sama kuliahnya. Kamu mau kenalan sama anak saya? Barangkali jodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmindo Doremi | NCT Dream ✓
FanfictionNgabuburit bareng pacar? Sori-sori jek, kita lebih pilih minum kopi sambil nunggu azan maghrib. Alias, puasa setengah hari. [edisi ramadan] © nanaaheng | march 23, 2023 bahasa non-baku, tw // harshword