Pintu rumah dibuka. Membuat dua insan di dalam segera menoleh ke asal suara.Yang paling antusias adalah wanita cantik dengan rambut panjang dikuncir satu rendah. Meski berbalut apron, dia menghampiri pintu demi menyambut kedatangan sosok kesayangan.
"Selamat datang..," senyum cerah Fuyumi luntur berganti wajah pucat pasi.
"Hibiki, kamu kenapa!?" Paniknya. Lantaran sang anak memiliki luka di bagian wajah, siku tangan, dan lutut kaki.
Anak yang baru saja berumur 8 tahun itu membuang pandang enggan melihat sang ibu. Dia juga sebenarnya tidak mau pulang sekolah menunjukkan badan penuh luka begini.
Fushiguro yang semula duduk santai di ruang keluarga sambil membaca buku, tergerak untuk mendekati istri dan anaknya.
Bisa dilihatnya Fuyumi merendah, menyamakan tinggi dengan Hibiki, dan memandang khawatir anak tampan itu.
"Ada apa?"
Hibiki menggerakkan kaki selangkah mundur terlalu tercengang karena sang ayah. Tidak dia kira ayahnya akan di rumah siang-siang begini.
"A-ayah.., kau.. sudah pulang?" Tanyanya terbata. Meneguk ludahnya takut. Kalau tahu Fushiguro di rumah, dia tidak akan pulang.
"Ada apa denganmu?"
Hibiki tegang, sebelum kemudian dia terpaksa menoleh ke ibunya karena wajahnya ditangkup dengan dua tangan.
"Kenapa sampai begini? Apa yang terjadi?"
"Aku jatuh."
"Luka di tangan dan kakimu mungkin karena jatuh, tapi wajahmu.., tidak terlihat seperti wajah setelah jatuh." sambar Fushiguro. Menggagalkan kebohongan yang akan dibuat anaknya.
Hibiki lepas pelan tangan ibunya di wajah, lalu membuang muka enggan melihat kedua orang tuanya. Selagi tangan tersimpan di saku celana pendeknya, ia berkata, "aku berkelahi."
"Aku didorong duluan. Jadi aku balas. Luka seperti ini tidak ada apa-apanya, yang penting aku yang menang."
Fushiguro mengatup rapat bibir. Dia baru kali ini mendapati anaknya berkelahi, sedikit mengingatkannya pada masa SMP dirinya dulu. Senyum miringnya tercipta.
"Aku tidak mau diam saja diperlakukan seenaknya. Aku benar 'kan, ayah? Jangan marah." dia memohon di akhir. Untuk ibunya, Hibiki yakin tak akan memarahinya. Tetapi ayahnya berbeda.
"Fuyumi, kau lanjutkan memasak saja untuk makan siang."
Sang istri langsung tahu apa maksudnya. Fushiguro mengusirnya dan hendak mengurus Hibiki seorang diri.
"Megumi-san, jangan terlalu memarahinya."
Fushiguro mengernyit, memandang Fuyumi dan Hibiki bergantian.
"Kalian ini sebenarnya menganggapku orang seperti apa?"
Keduanya bungkam. Fushiguro mendengus pelan mencoba maklum. Mengingat kembali satu tahun lalu, Hibiki pernah membuatnya gagal menahan amarah.
Anak itu awalnya kurang suka dengan lingkungan sekolahnya. Banyak anak-anak yang tidak dia sukai mendekati dan mengganggu hari-harinya. Ada yang menariknya paksa untuk bermain bersama padahal dia tidak mau, ada yang menangis kalau Hibiki bentak dan mau tidak mau membuatnya menuruti keinginannya, serta masih banyak lagi gangguan lainnya.
Hibiki yang biasa melakukan semua hal seorang diri, merasa jengkel dengan itu. Sampai dia bilang pada ibu dan ayahnya bahwa dia tidak mau bersekolah. Saat dia katakan alasannya, sang ibu bilang orang-orang itu hanya ingin berteman dengannya. Jadi, apa berteman itu berarti mengganggu kenyamanan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Please be My Husband! (Completed)
Fanfiction"Menikahlah dengan saya." Hampir saja minuman yang Fushiguro seruput nyembur ke wajah si pengucap. Entah telinganya yang tak waras atau mulut sang pengucap yang setengah stres Photo source from pinterest