"Fushiguro....""....tidak bernafas.."
.
.
.
.
Gojo dan Shoko berdiri kaku di tempat. Seakan kedua kaki mereka merekat kuat dengan permukaan lantai.
Barusan, Shoko mengatakan hal yang tidak mungkin. Membuat Gojo didorong rasa ketidakpercayaannya untuk sadar harus segera melakukan sesuatu.
Pria tampan ini memucat saat dia mendekat ke ranjang dan mau tidak mau mengakui kebenaran ucapan Shoko. Dengan segala kepanikannya, ia menghadapkan tubuh Shoko ke arahnya dan menggoyangkan dua pundak wanita itu, "lakukan sesuatu. Shoko, cepatlah!"
Tersentak, empunya mencoba tenang dan memberi anggukan singkat. Sekali lagi memeriksa Fushiguro dengan menekan denyut nadi di leher, berharap setidaknya di sana menciptakan gerakan walaupun lemah. Naas, dia dipaksa menerima keadaan yang tidak diharapkan.
Shoko memejamkan kedua mata, frustasi yang dirasakan ditampilkan sejelas-jelasnya lewat mimik wajah.
Tetapi, ini belum akhirnya. Shoko yakin punya kesempatan untuk menyelamatkan pria berambut gelap itu.
"Ugh..," sampai satu rintihan sakit itu terdengar.
Shoko dan Gojo menoleh, membeku melihat Fuyumi memegangi kepala dan perlahan membuka kedua mata.
Kenapa.. dia harus bangun sekarang?
Seketika, Shoko ketakutan. Takut semua yang akan ia lakukan sia-sia dan harus menanggung rasa bersalah. Terutama pada sosok yang Fushiguro cintai. Dia takut tidak bisa berhadapan dengan gadis itu. Sekarang pun dia tidak punya keberanian mengatakan kondisi Fushiguro pada Fuyumi.
Shoko mengambil satu langkah ke belakang, bergerak menjauhi ranjang. Ketenangan tidak berhasil ia dapatkan. Membayangkan ia gagal dan membuat Fuyumi menderita, ternyata mampu menjadikan keraguan menguasainya. Dia pernah mengecewakan Fuyumi, apakah kali ini dia akan lebih menyiksa gadis itu?
Bagaimana.. kalau ternyata Fushiguro memang tidak bisa sembuh, dan tidak ada yang bisa Shoko lakukan? Memberitahu Fuyumi sekarang lebih baik daripada membuatnya berharap Shoko bisa melakukan sesuatu tapi pada akhirnya itu hanya kebohongan.
"Gojo-san," kata Fuyumi. Mendapati Gojo berdiri di sebelah ranjang. Pria itu tengah menunduk dalam.
Fuyumi perlahan mendudukkan diri dan mengedar pandang ke sekeliling. Melihat adanya Shoko, serta sang suami yang memejamkan mata dengan wajah damainya, menjadikannya bisa menebak kenapa dan di mana dia sekarang. Fuyumi menyentuh lukanya yang telah dibalut perban, "anu.., terima kasih, sudah mengobati saya." ia tujukan pada Shoko ucapan itu. Kemudian ia lakukan hal yang sama pada Gojo. Meski dua insan itu tak menjawab sepatah katapun.
Gadis cantik ini memutuskan menatap suaminya yang ia kira tengah tertidur dengan pinggiran ranjang sebagai sandaran. Senyumnya terulas tipis, lanjut tangan yang terulur untuk merapikan surai Fushiguro.
Namun ia dikejutkan dengan tarikan kasar dari pemilik iris ocean. Fuyumi bersinggungan dengan manik Gojo yang memperlihatkan kemarahan besar.
"Semuanya salahmu. Kalau saja, Megumi tidak bertemu denganmu.., kalau saja, kau tidak memaksanya menikahimu, ini tidak akan terjadi."
Fuyumi merasakan sesak di dada, jantungnya berdegup tak nyaman.
'Kenapa..?'
'Apa maksudnya? Apa ini ada hubungannya dengan...'
Pikirannya mendadak kosong saat melirik Fushiguro. Ada yang aneh dengan suaminya. Gadis ini menghempas tangan Gojo, mendekati Fushiguro.
"Megumi...-san," Panggilannya semakin melirih bahkan hampir tak terdengar di akhir. Bibir dan iris Fuyumi bergetar hebat, matanya pun terasa panas dan mengkabur sebab air mata menggenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please be My Husband! (Completed)
Fanfiction"Menikahlah dengan saya." Hampir saja minuman yang Fushiguro seruput nyembur ke wajah si pengucap. Entah telinganya yang tak waras atau mulut sang pengucap yang setengah stres Photo source from pinterest