Mr. Rayan

111 23 2
                                    


Manusia tidak akan mampu mengukur luas dan kedalaman perasaannya sendiri, apalagi perasaan manusia lainnya.

Takdir menjadi manusia itu rumit, tapi juga menarik. Rumitnya, kita perlu mati-matian berusaha untuk hidup dengan baik. Menariknya, buah dari kebaikan itu sangat menggiurkan, contoh salah satunya adalah; Surga yang Tuhan janjikan.

Sama, saat dia memutuskan menikah dengan Anna. Akan ada keinginan dan konsekuensi yang harus dia pikul. Hanya saja, euforia laki-laki ketika menikah lebih besar dari sekedar yang terlihat.

"Apa yang sedang kamu lukis?"

Pertanyaan itu mengaluni ruangan tempat di mana Ray berada. Dia berdiri, sedikit terkejut karena tidak biasanya Anna pulang tanpa memberitahunya. Apalagi ini masih terbilang jam kerja.

"Siapa yang mengantarmu pulang?" Ray meletakkan kuas, lalu menyambut pelukan Anna. Setelah menikah, Ray lebih sering mengantar-jemput istrinya yang bekerja sebagai jurnalis itu.

"Hulya. Kebetulan dia mau ke rumah ingin bertemu Umma. Maaf aku lancang masuk ruanganmu. Aku tidak bermaksud mengganggu. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai, jadi aku pulang cepat." Jawab Anna sembari menghela napas panjang. Satu hal paling menyenangkan ketika dia pulang adalah mendapat rengkuhan tangan hangat Ray dan aroma pewarna yang kadang tercium dari kausnya.

"Tidak apa-apa, honey. Aku tidak mau kamu masuk ke sini karena di sini banyak debu." Pria itu berangsur memakaikan Anna masker. Menyentil dahinya pelan. "Karena kamu di sini, sepertinya kejutanku untukmu jadi gagal."

"Kejutan? Apa itu?" Kedua mata abu-abu Anna melebar. Satu-satunya mata tercantik yang tidak bosan Ray tatap.

"Kemarilah." Anna merengkuh lengan Ray bersemangat, ikut melangkah mendekati kanvas yang hendak ia tunjukkan.

Sebuah lukisan terlihat. Meski belum sepenuhnya selesai, dia bisa tahu jika itu merupakan garis lukis sebuah kebun bunga. Berbeda dengan estetika sunflowers karya Pelukis legendaris Pablo Picasso, lukisan Ray kali ini lebih seperti lukisan yang menggambarkan bunga di era 50-an.

Sejak dulu, Bunga matahari dikenal memiliki manfaat kesehatan seperti membantu meningkatkan kadar kolesterol, mengontrol gula darah, meningkatkan kualitas tidur, dan banyak lagi. Bahkan ia dengar produk-produk untuk wanita seperti skincare dan lainnya juga memanfaatkan vitamin dari bunga itu.

Sekarang Ray paham, bunga matahari punya banyak kegunaan. Khususnya untuk meningkatkan kebahagiaan seseorang. Siapa lagi kalau bukan pecinta sunflowers— Annanya.

"Untuk siapa lukisan ini?" Kepala Anna mendongak. Menunjukkan ekspresi takjub sekaligus bertanya-tanya.

"Pesanan dari dinas budaya untuk pameran museum. Tapi sepertinya dia meng-cancel karena ada perubahan tema acara."

"Pesanannya dibatalkan?"

"Hm."

"Lalu bagaimana?" Anna mengerucutkan bibir. Dia merasa sedih jika ada orang yang seenaknya membatalkan pesanan lukisan yang sudah susah payah Ray buat. Meski pria itu tidak terlihat keberatan sama sekali.

"Tinggal aku selesaikan saja. Tidak apa-apa."

"Beneran?"

"Iya sayang."

"Ayolah Ray. Tidak bisakah kamu menunjukkan kemarahanmu sekali saja? Aku takut kamu dimanfaatkan orang tidak waras karena terlalu menjadi pemaaf."

"Jangan. Saat marah aku benar-benar menyeramkan."

"Oh ya? Aku tidak pernah melihatmu marah. Bahkan kepadaku."

"Pernah, saat dulu aku bertemu teman kampusmu yang suka memberimu banyak bunga itu."

"Really?" Anna terlihat terkejut dua kali lipat. "Apa kamu se-cemburu itu?"

"Bukan cemburu, aku hanya tidak suka ada yang mendekatimu."

"Itu sama saja, Tuan."

"Tentu saja berbeda." Ray terkekeh. Mengelus puncak kepala Anna. "Jangan khawatir. Meski lukisan ini gagal diambil. Sudah ada orang yang akan meminangnya."

"Kamu serius?!" Anna melotot. "Secepat itu?"

Julukan Ray adalah Pelukis Malam, dan Pelukis Malam adalah Ray. Tentu saja tidak butuh waktu lama orang tertarik dengan karyanya. Bahkan tidak butuh waktu sehari, Ray bisa meraih keuntungan lebih dari orang normal bayangkan.

"Kamu benar-benar luar biasa." Tutur Anna sambil tertawa. Saat Ray fokus dengan tawa cantik itu, dia tidak sadar jika Anna diam-diam mencolek pewarna yang ada di dekat mereka. Dan dengan gerakan cepat, pipi Ray menjadi sasarannya.

"Terima ini!"

Ray terkesiap. Semua terjadi sangat cepat. Sekarang pipi kanannya penuh dengan warna orange dan kuning.

"Aku mencintaimu." Anna tersenyum miring. Sekuat tenaga menahan tawa melihat raut wajah annoying Ray yang masih tercengang dengan ulahnya.

Tidak kalah cepat, Ray merengkuh bahu wanita itu. Bukannya memberi balasan yang sama, dia malah memberikan sebuah ciuman hangat. Anna tertawa di tengah-tengah itu sebelum mereka membuka jarak lagi.

"Aku juga memiliki kejutan untukmu." Anna tersenyum tulus. "Buku tentang kita sudah selesai. Tim Penerbitan di komunitasku sangat menyukainya. InsyaAllah semuanya beres bulan ini. Mereka bertanya apa masih ada yang perlu ditambahi lagi untuk ceritanya?"

Ray menyipitkan matanya. Tersenyum tipis. "Tunjukkan padaku soft-file nya. Ada sesuatu yang ingin kuperbaiki di bagian pertama."

Anna mengangguk. Membuka tas dan mengeluarkan iPad kerjanya. Di sana, di dokumen yang sebentar lagi akan mereka realisasikan menjadi buku, muncul bab pertama. Diceritakan perjalanan hidup Ray yang penuh dengan lika liku dan luka.

Di lembaran sebelumnya, terdapat satu catatan manis Anna sebagai pembuka.

'Namanya Rayan Ali. Selamat datang di lembaran pertama kisahnya'

TO BE CONTINUED

Yosh, akhirnya upload juga bab ini. Bener-bener kemarin bimbang kasih prolog atau engga.

Maaf author baru kembali setelah sekian lama hiatus huhu, kemarin lagi ada tugas di Kediri dan sekarang lagi fokus di perkuliahan.

But, i Will say 'welcome to this sweet story!'
Doakan Mr. Rayan lancar idenya, ya :)

Ohya mau ngabarin dikit kalau setelah ini ceritanya bakal flashback masa lalu Ray. So, i hope u still wait it.

Jangan lupa vote & komennya!

MR. RAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang