Bagian 7

19 4 1
                                    


Ray baru saja mengeluarkan sepeda dari pelataran rumahnya. Ya, dia tinggal di sebuah rumah tak jauh dari akademi Royal College di London. Rumah itu sangat jauh dari kata besar, karena hanya berisi satu kamar, satu kamar mandi, dapur, ruangan kecil dengan satu meja dan sofa lalu balkon kecil di lantai dua. Rumah dengan halaman minimalis itu dimiliki oleh seorang Kakek berusia 80 tahun yang juga hidup satu atap dengannya. Hanya berbeda lantai, karena sejak pertama dirinya datang, Kakek memintanya menempati lantai dua yang sudah lama kosong, yang kini Ray jadikan tempat tinggal sekaligus tempatnya mengisi waktu luang.

"Usap rambutmu yang seperti kain pel itu, Ray. Kau akan bertemu orang banyak di sana, tidakkah sekali saja kau tidak membuat malu kakekmu ini!"

Meski sudah tua, Grandy masih mampu melakukan banyak hal seperti memasak, Jalan-jalan, menyiram tanaman, dan... memarahi Ray. Dan dia tidak pernah setuju dipanggil "Sir" ataupun "Grandpa" olehnya, Ray hanya boleh memanggilnya "Grandy" yang diartikan sebagai 'Grand-daddy' yang entah apa maksudnya. Yang pasti Ray tidak tertarik tau.

"Don't Worry, Grandy. I'm fine." Pria tinggi itu hanya mengangkat bahu lalu menarik tangan Kakek untuk bersalaman, rutinitas khasnya sebelum dan sesudah berpergian. Lantas ia berpamitan setelah melihat raut wajah kakek tidak lagi khawatir.

Jangan ditanya penampilan dan outfit apa yang ia kenakan untuk menemui gurunya hari ini. Seperti biasa, rambut tidak disisir, celana, kaos, beserta jaket hitamnya yang entah akan diprotes Mr. Hazar atau tidak. Yang jelas, Ray hanya akan menuju Westminster untuk memenuhi undangan yang 'sedikit' memaksanya minggu lalu itu.

Pagi ini bukanlah perjalanan pertamanya menyusuri London, kota metropolitan terbesar di Britania Raya, sekaligus pusat ekonomi, transportasi dan kebudayaan Inggris.

Sebenarnya ada beberapa rute bus London yang ada di sekitar akademi yang secara langsung menuju Big Ben, bahkan juga mengarah pada stasiun yang bersebrangan dengan menara dan sungai Thames. Namun seperti yang semua orang tahu, ada dua hal yang mungkin hanya Ray cintai di hidupnya, yaitu; tangan dan sepedanya. Dua hal itu seolah adalah warna kehidupan Ray selama ini. Hal yang begitu ia jaga, baik dari kejahatan orang lain maupun dari kejahatan dirinya sendiri.

Mungkin bagi beberapa orang yang tidak mengenalnya, itu sangat memalukan. Ketika tangan yang biasa ia gunakan untuk melukis itu, tidak sedikitpun pernah menyentuh alkohol, dan juga wanita.

But, everymind of someone else is nothing. Sedikitpun ia tidak peduli dengan perspektif orang lain tentangnya.

Setelah sekian jam mengayuh sepedanya, tibalah pria itu di Seberang dermaga Westminster yang berjarak sekitar dua menit berjalan kaki dari menara Big Ben. Di samping sungai Thames, Ray meletakkan sepedanya, mendongak memerhatikan menara yang biasa disebut sebagai Menara Elizabeth itu. Dari sejarah yang ia baca, dahulu istana Westminster dengan tower jamnya, Big Ben, merupakan tempat tinggal raja dan ratu yang kini beralih fungsi sebagai Gedung Parlemen Inggris.

Tidak ada biaya untuk masuk ke Big Ben dan Parlemen, karena turis tidak diperbolehkan masuk ke menara kecuali warga lokal yang bermukim di Inggris. Namun area gedung dapat diakses oleh umum dan pemandangan menara dapat dinikmati tanpa biaya. Untuk statusnya kali ini, tentu dia adalah tamu undangan yang hanya bisa masuk ke dalam gedung acara, bukan ke big ben karena sudah jelas dia bukan termasuk warga lokal.

'Datanglah di pintu masuk gedung, dan jangan lupa tunjukkan tanda pengenalmu.'

Mr. Hazar.

Usai membaca pesan itu, Ray melangkah menuju lokasi yang sudah Master jelaskan. Dia diminta datang ke ruangan yang berada di lantai 4 gedung. Sudah lama sejak terakhir kali ia berkunjung kesini untuk urusan penelitian, tidak sulit mengetahui ruang apa yang Master datangi itu. Yeah, itu pasti ruang pertemuan. Tidak salah lagi.

MR. RAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang