Bagian 3

62 14 1
                                    

Hari berikutnya, seantero rumah sakit mungkin tahu jika biaya operasi dan perawatan Nona Zara sudah ditanggung seluruhnya oleh pihak kekeluarga. Hanya sedikit orang, yang tahu jika diam-diam ibu Ray tidak lepas tangan dan duduk manis begitu saja. Bahkan akhir-akhir ini meski masih dalam suasana berkabung, Anne masih sempat-sempatnya mengisi waktu dengan berdagang keliling. Rutinitas yang dia lakukan setiap hari, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Dalam dunia pedagang, kualitas dan nilai suatu barang tidak akan mengkhianati hasil. Semakin engkau menjual barang berharga, maka semakin banyak untung yang didapat. Kali ini Anne rela menjual barang berharga miliknya. Seperti, cincin, kalung atau lukisan-lukisan kenangan dari mendiang Baba. Entah apa yang ibu Ray itu pikirkan hingga ia melakukannya. Yang jelas, 'tidak ingin lari dari tanggung jawab' memang sudah menjadi sifat nalurinya.

Dan sepertinya Tuhan memang sedang berbaik hati. Seluruh dagangan itu laku terjual hanya dalam waktu kurang dari satu minggu, dengan income tiga kali lipat lebih banyak dari hari-hari biasanya.

Setiap usai berdagang, Anne selalu datang ke Hastane lagi untuk menjenguk Nona Zara. Kali ini dia tidak mendapatkan suasana yang sama seperti sebelumnya karena saat itu keluarga Ali, yang konon dari Indonesia, sudah mulai berdatangan.

Meski sudah melewati masa kritis, namun 'bayaran' dari musibah tetaplah mahal. Nona Zara mengalami benturan yang cukup keras di bagian tulang pelipis, dan hingga Dokter menyebutkan jika wanita itu mengalami koma, selama beberapa bulan.

"Tolong temani keluarga kita makan dan istirahat, Ley. Aku akan pergi sebentar." Itu adalah suara Tuan Ali yang sedang bicara dengan sepupunya, Nona Leyla. Memberi pesan agar memastikan keluarga mereka aman sebelum pria itu pergi entah ke mana. Seperti biasa, dia sempat membungkukkan badan ke Anne. Semua orang paham bahwa itu adalah sebuah tanda penghormatan.

Ibu Ray tidak banyak bicara pada Tuan Ali. Entah karena sungkan oleh kebesaran seorang Tuan muda itu atau karena melihat sifatnya yang sedikit bicara. Anne hanya berani bicara dengan Leyla setiap dia berkunjung.

"Maaf, Saya selalu melihat Tuan Ali pergi ke arah sana. Sebenarnya dia pergi ke mana?" Tanyanya penasaran, sekaligus merasa aneh.

"Apa? 'Tuan' ?" Nona Leyla gagal fokus dengan sebutan yang baru saja Anne sebutkan. Membuat wanita itu sedikit tertawa. "Aku yakin jika Ali mendengarnya, dia tidak akan suka. Anda tidak perlu menyebutnya seperti itu."

"Oh maaf.."

"Apa jangan-jangan Anda juga menyebutku dan Zara dengan 'Nona?"

Anne terdiam, ternyata wanita ini betul-betul seorang pengamat yang baik. Attitude-nya apalagi. Rasanya setiap orang yang bicara padanya akan merasa nyaman.

"Kalian adalah keluarga dengan marga besar di sini. Sepertinya sudah sepantasnya Saya menyebut kalian demikian." Jawaban Anne membuat Leyla menghela napas. Tersenyum tipis.

"Jika bicara soal itu, mungkin Saya tidak bisa menyangkalnya. Tapi, Anda salah jika menganggap kami keturunan yang memanfaatkan kebesaran Kakek buyut kami hanya karena ingin dihormati. Dan juga, sepertinya kita hampir seumuran. Berapa usia Anda?"

"Saya 24." Jawab Anne.

"Wow, aku 23. Berarti dari kita semua, Zara adalah yang termuda. Dia masih 21 tahun."

Anne meringis dalam hati. Pasti tidak menyangka jika wanita berjiwa malaikat itu masih semuda itu.

"Oh ya, tadi Anda bertanya ke mana suami Zara pergi? Dia sedang Salat Ashar.  Biasanya dia akan kembali nanti setelah Maghrib atau isya."

"Sepertinya.. dia seorang muslim yang taat." Anne berkata pelan.

Leyla mengangguk. "Itulah kenapa dia serasi sekali dengan istrinya. Mereka sama-sama muslim yang terjaga keimanannya. Saya saja banyak belajar agama dari mereka."

MR. RAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang