1. Prolog

1.2K 99 84
                                    

"Jiya! Kalau sudah besar nanti, menikahnya dengan kakak saja yaa.."

"TIDAK MAU!!!"

Sekelebat bayangan interaksi antara dirinya dan Yoongi terlintas begitu saja di kepala Jiya. Ingatan itu buram, tapi tidak sepenuhnya pudar dari memori ingatan gadis itu. Jelas dia ingat siapa Yoongi, bocah SMA anak teman Ibunya yang selalu mengajaknya menikah di saat ia baru menginjak usia sebelas tahun. Masih menginjak sekolah dasar. Kalau Ibunya bilang, "Jiya itu masih anak kemarin sore, kalau Yoongi mau, tunggu saja sampai dia besar."
Sejujurnya itu hal yang lucu. Hanya saja, Jiya terbiasa emosi kalau Yoongi ada di dekatnya. Suka mengganggu, menjahili, bahkan mengajak menikah walaupun hanya main-main.

Aneh dirasa Jiya. Ibunya memberitahu kalau minggu depan Yoongi akan pulang ke Seoul setelah bertahun-tahun tinggal di New Zealand. Jiya tidak tahu harus berekspresi seperti apa ketika mereka bertemu. Apakah Yoongi akan menunjukkan diri dengan lamaran receh seperti dulu? Atau sudah membawa calon istri? Atau malah sudah memiliki anak?





Akhirnya sudah bisa di tetapkan minggu depan adalah jadwal kepulangan Yoongi ke Seoul. Sudah tidak sabar ingin melihat gadis yang dahulu sering dia ganggu. Gadis cengeng yang sering emosi lalu menangis jika Yoongi ajak menikah. Padahal kan dulu itu cuma main-main saja, tidak tahu sih kalau sekarang. Tidak sepenuhnya benar kalau ungkapan mengajak Jiya menikah itu hanya main-main. Saat itu, Yoongi sering merengek pada sang Ibu agar di nikahkan pada si kecil Jiya. Kalian tahu? Yang ada kepala Yoongi di getok gayung.

Yoongi menahan senyum mati-matian mengingat hal konyol itu. Geli sendiri melihat dirinya. Yah mau bagaimana lagi memangnya?

Dari hal itu, Yoongi sampai rela belajar keluar negri mengikuti jejak sang ayah. Hitung-hitung menunggu Jiya sampai besar, baru kembali lagi. Kalau bertemu dengan Jiya terus, bisa-bisa menikah dini. Tidak tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Hati Yoongi berdebar-debar. Membayangkan sudah setinggi apa Jiya sekarang. Sebatas dadanya? Sebatas leher? Sebatas dagu?

Kemarin sang Ibu memberi satu foto Jiya untuknya. Jiya semakin cantik, rambutnya lurus sebahu, lubang di kedua pipi gadis itu memberi kesan manis nan menggemaskan. Kaus polos berwarna pink dan celana pendek yang membungkus tubuh Jiya, membuat hati Yoongi semakin flowery melihatnya.



****



Tiga hari sebelum kepulangan Yoongi ke Seoul, ia meminta pendapat pada sang ibunda tercinta. Cocoknya mau di bawakan oleh-oleh apa untuk keluarga Min Jiya, eh maksudnya keluarga Shin Jiya. Apa saja yang mereka minta pasti Yoongi turuti, seperti cincin untuk bertunangan misalnya. Aduh, gila sekali isi kepala Yoongi ini.

Orangtua Yoongi dan orangtua Jiya memang kerap sekali bertukar kabar, tetap menjalin hubungan persahabatan meski di halangi oleh jarak. Lagipula, orangtua Yoongi lumayan sering pulang ke Seoul untuk memantau rumah, sekalian juga berkunjung ke rumah Yena(Ibu dari Shin Jiya).

Yang tidak pernah bertukar kabar itu anak-anak mereka, Yoongi dan Jiya. Hanya mengirim pesan singkat kalau ada hal penting yang akan di tanyakan. Selebihnya nol.

Kalau soal hal itu, sejujurnya itu karena Yoongi sendiri. Dia hanya ingin membebaskan Jiya, tidak mau mengganggu gadis itu dengan teroran beribu pesan singkat ataupun panggilan online dalam bentuk apapun. Sesekali boleh saja.
Dalam bertahun-tahun lamanya, bisa di hitung dengan jari berapa kali mereka mengirim pesan singkat.

Mengganggu Jiya bisa di lakukan nanti secara langsung, ketika sudah bertemu, pikir Yoongi.

"Ibu, jadi apa yang harus aku belikan untuk bibi Yena dan putri kecintaannya?"

Marry You, Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang