3. Flashback Yoongi

469 67 61
                                    

Yoongi lagi Yoongi lagi. Rajin sekali sih absen di rumah Jiya. Bukannya bosan, tapi Yoongi terlihat seperti pengangguran. Tidak ada kerjaan selain menunggui rumah Jiya. Apa pria Min ini tidak muak berada disini terus?

Kadar badmood Jiya bertambah kala kedua matanya menemukan sang Mama dan Yoongi tampak akrab sekali di meja makan. Mungkin anaknya Yena yang sesungguhnya adalah Yoongi ya. Semacam anak yang tertukar.

Ahk, mau balik ke kamar tapi si Mama sudah mendapati dirinya terlebih dahulu sedang berdiri lunglai tepat di ambang pintu kamar. Mana berani masuk lagi. Kalau Jiya tetap melakukan hal itu, maka bisa di pastikan Mamanya akan berubah menjadi rapper dadakan. Hih, membayangkannya saja membuat bulu kuduk Jiya berdiri.

"Aduh, anak gadis bangunnya jam segini." Ejek Yoongi ketika Jiya sudah menarik kursi di meja makan.

"Benar Yoon, bagaimana nanti kalau sudah jadi istri ya."

Tatapan sinis Jiya berikan untuk Mama dan Yoongi, tidak terima di katakan begitu. "Oh jadi begitu, sekarang Mama sudah jadi komplotannya kak Yoongi ya. Cukup tahu saja Jiya."

"Sudah ah, tidak seru berdebat denganmu.
Yoon, Jiya sudah bangun. Sudah bisa Bibi tinggal kan?"

Sabar Jiya sabar. Sudah ikut-ikut menjadi komplotan Yoongi, dan kini katanya mau pergi. Tidak apa, Jiya sudah biasa di tinggal-tinggal oleh sang Mama.

Seperginya Yena, Yoongi langsung membelai rambut Jiya sambil terkekeh ringan, "Emosional sekali."

Lengan Yoongi dihempas begitu saja oleh si pujaan hati, tapi Yoongi tak marah pun tak memasukkannya kedalam hati. Malah ia semakin gencar untuk mencubiti pipi Jiya, wajahnya terlihat sembab karena baru bangun tidur. Sangat lucu di mata Yoongi.

"Ih kakak jangan!"

Akhirnya Yoongi menghentikan cubitannya, membantu Jiya untuk merapikan rambut yang sempat ia acak-acak. "Nanti malam orangtuaku datang Jii. Jangan lupa dandan yang cantik ya."

"Kenapa harus dandan? Seperti orang yang mau dilamar saja."

"Kalau kau bersedia dilamar akan aku panggil orangtuaku sekarang juga."

"Ingat perjanjian kak."

"Maka dari itu, jangan banyak tanya. Ikuti saja apa kataku."

Tidak ada apa-apa kok. Orangtua Yoongi hanya mau berkunjung saja ke rumah Jiya sekaligus makan malam. Belum ada acara lamar-melamar. Kalau kata Jiya, usianya belum genap duapuluh. Padahal kalau kata Yoongi, mau usia berapa saja sih ayo.

Tanpa aba-aba, Yoongi mendekat mencium sebelah pipi Jiya. Membuat sang empunya pipi melotot tidak terima. Min Yoongi ini kenapa nyerandu sekali sih? Nanti kalau Jiya meminta yang lebih bagaimana? Ingin rasanya Jiya memukul kepala Yoongi memakai sendok kayu yang berada di hadapan mereka.

"Kak Yoongi yang tampan nan baik hati, tidak boleh sembarangan cium begitu."
Ucap Jiya mencoba sabar, setiap kata ia tekan kan nadanya agar Yoongi bisa mengerti.

"Tidak boleh apanya? Dulu kau sering ku cium-cium kok. Sering kucium, ku peluk, ku manja, ku gendong. Bahkan kau meraung-raung minta ikut saat aku akan meninggalkan Seoul dulu."

Jantung Jiya berdetak. Tidak, bukan karena terharu. Jiya sangat emosional jika mengingat akan kepergian Yoongi kala itu. Mereka tidak ada yang bisa memahami Jiya, dia sudah menangis keras karena tak mau ditinggalkan. Namun, Yoongi dan para orangtua hanya menganggap itu adalah hal sementara. Anak kecil seperti Jiya bisa apa? Dia tidak bisa berbicara dan tidak bisa mengutarakan perasaannya secara logis.

Karena tidak mau mengingat hal itu lagi, gadis Shin itu bangkit meninggalkan Yoongi sendiri di meja makan. Ia beralih duduk di sofa depan televisi. Pikirannya masih kalut tentang bayangan antara dia dan Yoongi dimasa lampau. Memang benar, dulu Jiya sangat manja pada Yoongi. Selalu minta gendong dan cium, kemudian Yoongi selalu bilang 'kalau ingin sesuatu dariku, harus mau menikah denganku suatu saat nanti.'
Kalimat itu selalu ditolak Jiya karena ia memang belum mengerti apa arti pernikahan yang sesungguhnya. Jiya asal menolak saja.

Marry You, Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang